Uang dan
Hidup Kita
Kata orang,
uang bukanlah segalanya. Namun, segalanya akan susah, jika kita tidak punya
uang. Banyak orang, sadar atau tidak, mengabdikan hidupnya untuk mencari uang.
Dia mengorbankan hampir segalanya, termasuk orang-orang yang ia cintai, supaya
bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa uang
adalah Tuhannya.
Namun, uang
bukanlah barang yang netral. Ia punya efek mengubah hal-hal yang ia sentuh.
Efek mengubah ini tidak selalu baik, namun justru bisa merusak nilai dari hal
tersebut. Uang juga bisa menciptakan rasa iri yang lahir dari ketidakadilan,
ketika orang yang memiliki uang banyak mendapatkan kesempatan lebih banyak,
daripada orang yang lebih sedikit uangnya.
Pengaruh
Uang
Salah satu
yang membuat hidup kita bahagia adalah persahabatan. Seorang sahabat hadir,
ketika kita membutuhkan bantuan. Ia juga hadir, ketika kita senang, atau sedang
ingin merayakan sesuatu. Apa yang terjadi, ketika kita membayar seseorang,
supaya ia mau menjadi sahabat kita?
Seks adalah
ekspresi dari cinta. Orang melakukannya, karena mereka saling mencintai. Mereka
ingin saling membahagiakan. Apa yang terjadi, jika kita membayar orang, supaya
ia mau berhubungan seks dengan kita?
Michael
Sandel, di dalam bukunya yang terbaru, What Money Can’t Buy (2013), juga
menjelaskan, bahwa uang juga mempengaruhi kinerja orang di dalam pekerjaannya.
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang mekanis, seperti administrator atau tukang sapu,
uang memang bisa memberikan motivasi tambahan, supaya orang bekerja lebih
rajin. Namun, untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat kreativitas
tinggi, uang tidak memberikan dampak apapun, atau justru melunturkan motivasi.
Inilah yang
saya sebut sebagai paradoks insentif. Dunia bisnis amat gembira, ketika mereka
menemukan mekanisme sederhana, bahwa orang bisa bekerja lebih rajin, karena
diberikan uang lebih. Uang lebih inilah yang disebut sebagai insentif. Namun,
cara ini tidaklah universal, melainkan hanya berlaku untuk jenis-jenis
pekerjaan tertentu.
Pendidikan
Di beberapa
sekolah internasional di Jakarta, anak dibayar dengan jumlah uang tertentu,
supaya ia lebih rajin membaca buku. Orang tua dan sekolah setuju dengan cara
ini demi satu tujuan, yakni meningkatkan minat baca anak. Harapan mereka,
dengan cara ini, anak akhirnya suka membaca buku, lalu ia akan terus membaca
buku, walaupun tidak lagi diberikan uang. Namun, seperti saya jelaskan
sebelumnya, uang mengubah nilai benda-benda yang disentuhnya, termasuk juga
nilai membaca buku.
Ketika anak
membaca buku, karena ia dibayar oleh orang tua atau sekolahnya, maka ia akan
belajar tentang nilai yang salah. Ia tidak akan bisa menemukan nilai kenikmatan
membaca buku, karena nilai itu dilunturkan oleh nilai lainnya, yakni
mendapatkan uang. Uang membuat orang belajar tentang hal yang salah. Ia mengaburkan
nilai berharga yang hendak diajarkan, dan akhirnya justru memelintirnya menjadi
sesuatu yang amat purba, yakni mendapatkan uang untuk memperoleh kenikmatan
lebih tinggi.
Ketidakadilan
dan Korupsi
Sandel juga
menjelaskan, bahwa kehadiran uang juga bisa menciptakan ketidakadilan.
Orang-orang yang memiliki uang akan membayar lebih tinggi, sehingga mereka
mendapatkan fasilitas lebih banyak. Sementara, orang-orang yang memiliki uang
lebih sedikit juga akan mendapatkan fasilitas yang lebih sedikit, atau tidak
sama sekali. Jika pola ini berulang di berbagai bidang kehidupan (pendidikan,
politik, ekonomi), dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan tercipta
kesenjangan sosial yang besar, yang berpeluang menciptakan konflik di
masyarakat.
Uang juga
memiliki efek korup. Dalam arti ini, korupsi berarti penurunan nilai dari apa
yang kita kerjakan. Ketika kita membantu orang, kita melihat tindakan kita
sebagai sesuatu bernilai. Namun, ketika orang yang kita bantu membayar kita,
nilai tindakan kita berubah menjadi semata nilai ekonomi yang bisa diukur
dengan uang. Dalam arti ini, nilai membantu telah dikorup menjadi semata nilai
ekonomi, karena nilai yang sesungguhnya dari tindakan membantu telah luntur,
karena telah disentuh dengan uang.
Uang juga
melahirkan godaan yang besar untuk korupi, dalam arti menggunakan uang bersama
untuk kepentingan pribadi. Sistem politik dan hukum Indonesia adalah contoh
paling jelas, bagaimana uang telah mengaburkan semua nilai, dan menggantinya
semata menjadi nilai ekonomi, sehingga mengundang orang untuk melakukan
korupsi. Ketika sistem politik dan hukum di posisi puncak telah korup, maka
semua segi kehidupan masyarakat lainnya juga akan korup. Ikan membusuk dari
kepalanya, lalu seluruh badannya pun akan membusuk.
Uang sebagai
Ideologi
Kecenderungan
untuk mengukurkan segalanya dari nilai ekonomi disebut juga sebagai die
panökonomische Ideologie. Peter Leuprecht di dalam tulisannya yang berjudul Überlegungen
zum internationalen Schutz der Menschenrechte (2013)menjelaskan, bahwa cara berpikir
ini telah merusak nilai-nilai luhur manusia, yang tercermin di dalam rumusan
hak-hak asasi manusia. Ia adalah musuh utama penegakkan hak-hak asasi manusia,
baik di tingkal nasional maupun global. Ia mengancam kedamaian hidup bersama,
karena setiap orang tergoda untuk menjadi rakus akan uang.
Contoh
paling jelas dari panökonomische Ideologie adalah pola politik di
Amerika Serikat sekarang ini. Pemerintah dan rakyatnya nyaris tak berdaya
menghadapi kekuatan politik perusahaan-perusahaan besar di sana. Motif utama
mereka cuma satu, yakni mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tanpa peduli
nilai-nilai lainnya. Padahal, nilai-nilai tersebut, seperti solidaritas,
pengorbanan dan kesetaraan sosial, adalah nilai-nilai yang mengikat AS sebagai
satu bangsa.
Ketika
nilai-nilai itu luntur, akibat sepak terjang uang yang tanpa aturan, maka
masyarakat pun akan ikut hancur. Hidup bersama akan menjadi amat sulit, karena
setiap orang menjadi begitu egois untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih lagi,
kalau perlu dengan merugikan orang lain, atau kepentingan bersama. “Yang
Sosial” (das Soziale) yang menjadi dasar dari kebersamaan juga lenyap, dan
digantikan oleh egoisme ekstrem. Maka, peran uang harus terus dibatasi dengan
peraturan, hukum dan moralitas, supaya ia menjadi alat untuk kebaikan bersama,
dan bukan tujuan utama.
Uang dan
Krisis Tujuan Hidup
Di dalam
artikelnya yang berjudul Philosophie des Geldes: Wir haben die Vernunft
verloren (2010), Gerhard Hofweber berusaha menjelaskan, bahwa hidup bersama
kita telah kehilangan akal sehatnya, sehingga mendewakan uang di atas
segalanya. Pandangan bahwa uang adalah nilai tertinggi adalah kesalahan
terbesar peradaban modern. Manusia modern menjadi buta, karena ia tidak bisa
membedakan, mana yang merupakan alat, dan mana yang merupakan tujuan.
Hofweber
menjelaskan, bahwa pandangan Aristoteles yang berusia lebih dari 2000 tahun
yang lalu tentang uang masih bisa menjelaskan situasi kita sekarang ini.
Baginya, uang adalah alat bagi satu tujuan tertentu. Artinya, apa yang orang
beli dengan uang haruslah memiliki nilai yang lebih tinggi, daripada uang itu
sendiri. Jika tidak, maka sebaiknya orang tidak membeli barang tersebut.
Ketika kita
membeli barang, maka barang itu haruslah memberikan setitik kebahagiaan (Glück)
pada kita. Kebahagiaan yang kita terima tersebut haruslah juga lebih tinggi,
daripada uang yang kita keluarkan. Menurut Aristoteles, kebahagiaan adalah
tujuan tertinggi hidup manusia. Dalam arti ini, kebahagiaan berarti kepenuhan
hidup, dan bukan semata kenikmatan sesaat.
“Apa yang
kita lakukan”, demikian tulis Hofweber, kita lakukan pada akhirnya untuk
menjadi bahagia.” Maka, uang pun juga harus ditempatkan dalam cara berpikir
ini. Uang adalah alat untuk menjadi bahagia, yakni menjadi penuh dalam hidup
ini. Namun, untuk mencapai kepenuhan hidup, orang butuh lebih dari sekedar
uang. Yang lebih dibutuhkan adalah hidup yang berkeutamaan, yakni hidup yang
berpijak pada nilai-nilai luhur dan masuk akal. Uang hanyalah alat semata, guna
mencapai tujuan ini.
Sekarang
ini, banyak orang lupa pada tujuan hidupnya. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup
tidak lagi menjadi tujuan. Ketika ini terjadi, maka orang bingung akan
perbedaan antara alat dan tujuan. Alat berubah menjadi tujuan. Uang berubah
menjadi tujuan, dan akhirnya mengacaukan seluruh tatanan hidup, baik hidup
pribadi maupun hidup bersama.
Ketika uang
menjadi tujuan, ia lalu dilihat sebagai kebutuhan utama. Yang menyeramkan
adalah, kebutuhan akan uang tidak akan pernah cukup. Berapapun pendapatan
seseorang, ia tetap akan merasa tidak cukup, karena hidupnya kehilangan tujuan
yang sejati, yakni kepenuhan hidup itu sendiri. “Ketika hidup yang baik dan
pemikiran yang masuk akal tidak lagi menjadi ukuran”, demikian Hofweber, “maka
kebutuhan akan uang akan menjadi tidak terbatas, dan kerakusan adalah dampak
logisnya.”
Krisis
tujuan hidup dan krisis akal sehat, itulah yang menandai jaman kita sekarang.
Dampaknya beragam, mulai dari kecanduan narkoba, sampai dengan kecanduan olah
raga ekstrem, guna mengisi kekosongan tujuan hidup tersebut. Perilaku-perilaku
aneh mulai bermunculan, mulai dari pesta seks tanpa batas, permainan saham yang
amat beresiko, sampai dengan perselingkuhan massal. Semua hal yang membawa
kenikmatan sesaat dicoba, guna mengisi kekosongan tujuan hidup dan krisis akal
sehat tersebut.
Ironisnya,
semua itu tidak akan pernah berhasil membawa kebahagiaan dan kepenuhan hidup.
“Apapun usaha kita, selama kita masih berpikir dengan cara lama, selama kita
masih mengisi harapan-harapan yang lama,” demikian kata Hofweber, “maka kita
tidak akan pernah merasa penuh.” Ia menyebut semua usaha mengisi kekosongan
hidup ini sebagai die Perspektive der Maximierung, atau cara pandangan
maksimalisasi, yang hendak mengusahakan segala cara, guna mengisi kekosongan
hidup, tetapi tidak akan pernah berhasil. Kegagalan ini terjadi, karena kita
bingung akan perbedaan antara alat (Mittel) dan tujuan (Zweck) di dalam hidup
kita.
Uang dan
Tuhan
Michael
Bienert menulis artikel dengan judul Philosophie ein Gott namens Geld
(2008). Ia melihat, bahwa uang di dalam masyarakat modern telah menjadi
sedemikian terlepas dari kontrol manusia. Akibatnya, bukan manusia yang
mengontrol uang, melainkan uang yang mengontrol manusia. Uang sudah seperti
Tuhan itu sendiri; mampu mendikte tindakan-tindakan manusia.
“Semakin
sempurna uang dirasa sebagai alat tukar”, demikian tulis Bienert, “semakin ia
abstrak dan tanpa materi, dan semakin ia menjadi universal, maka ia akan
semakin mirip dengan Tuhan.” Uang kini tidak lagi berbentuk fisik, baik kertas
atau logam. Ia menjadi sekedar nomor kartu kredit atau kartu debet. Ia menjadi
semakin abstrak, jauh dari jangkauan tangan fisik manusia.
Namun,
pengaruhnya justru semakin besar. Orang bisa menggunakannya, walau tak
mempunyainya, misalnya seperti kredit. Ia punya kekuatan besar, bahkan bisa
mengubah salah menjadi benar, misalnya dengan menyewa pengacara bertarif tinggi
untuk menyelamatkan koruptor dari hukuman penjara. Tak berlebihan jika
dikatakan, bahwa uang telah menjadi Tuhan yang mengatur hidup manusia, walaupun
uang adalah ciptaan manusia itu sendiri.
Banyak orang
percaya, bahwa manusia itu bebas. Namun, mereka lupa, bahwa kebebasan pun ada
harganya. Untuk memiliki dan menikmati kebebasan, orang perlu uang. Untuk
menikmati perjalanan liburan yang menyegarkan, orang perlu membeli tiket
pesawat. Untuk bisa menikmati buku yang bagus, orang perlu uang untuk membeli
buku itu. Tak berlebihan juga jika dikatakan, uang adalah prasyarat untuk
kebebasan.
Uang dan
Hubungan antar Manusia
Yang juga
diperhatikan oleh Bienert, dengan menggunakan kerangka teori dari Georg Simmel
di dalam bukunya yang berjudul Philosophie des Geldes, adalah bagaimana
uang justru menghancurkan kultur dan nilai-nilai sosial yang ada. Di kota-kota
besar Jerman awal abad 20, seperti Berlin, sebagaimana dinyatakan oleh Simmel,
uang menjadi begitu penting. Ia berperan tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi
juga sebagai penentu hubungan antar manusia.
Logisnya,
dengan adanya uang, maka hidup akan semakin makmur, dan manusia justru akan
menjadi bahagia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Uang justru mengkorupsi
hubungan antara manusia. Ketika cinta dan persahabatan bercampur baur dengan
uang, maka nilai keduanya akan terkorupsi, dan menjadi rendah nilainya. Uang
memungkinkan sekaligus menghancurkan kultur dan hubungan antar manusia itu sendiri.
Melampaui
Uang
Belajar dari
pemaparan Sandel, Leuprecht, Bienert dan Simmel, kita jadi sadar, bagaimana
uang tidak pernah netral di dalam hidup manusia. Uang membawa pengaruh yang
besar bagi setiap hal yang disentuhnya. Ia berfungsi sebagai pemberi motivasi
(insentif), atau justru mengkorupsi nilai-nilai luhur yang ada, sehingga
menjadi rendah. Ia memicu kinerja, sekaligus menghancurkan cinta, persahabatan
serta solidaritas sosial yang mengikat kehidupan bersama manusia.
Belajar dari
Hofweber, kita perlu untuk menempatkan uang ke tempat asalnya, yakni sebagai
alat dari tujuan hidup manusia yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan dan
kepenuhan hidup. Untuk itu, kita perlu menggunakan pikiran kita tidak hanya
untuk mencari dan mengumpulkan uang, tetapi untuk bertanya ulang, apa yang
membuat hidup kita sebagai manusia itu penuh, dan apa tujuan sebenarnya dari
semua yang kita lakukan. Untuk itu, kita perlu melampaui cara berpikir teknis.
Atau apa yang Heidegger tawarkan dalam buku kecilnya Was heißt Denken sebagai
berpikir dalam artinya yang paling sejati.
Dalam
konteks politik, uang perlu diatur sedemikian rupa, sehingga ia tidak
mengaburkan nilai-nilai sosial yang ada. Sistem keuangan, baik dalam bentuk
investasi saham ataupun bentuk-bentuk derivasinya, perlu untuk diatur
sedemikian ketat, sehingga ia tidak merusak stabilitas politik yang ada. Pasar
bebas, yang membiarkan uang bergerak tanpa aturan, dan akhirnya merasuk ke
dalam berbagai sendi kehidupan manusia, adalah ilusi yang hanya akan membawa
pada kehancuran dan krisis berkepanjangan. Ini semua perlu dilakukan, supaya
kita tidak salah kaprah, karena melihat uang sebagai Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar