Selasa, 27 Desember 2016

Uang dan Hidup Kita

Uang dan Hidup Kita

Kata orang, uang bukanlah segalanya. Namun, segalanya akan susah, jika kita tidak punya uang. Banyak orang, sadar atau tidak, mengabdikan hidupnya untuk mencari uang. Dia mengorbankan hampir segalanya, termasuk orang-orang yang ia cintai, supaya bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa uang adalah Tuhannya.
Namun, uang bukanlah barang yang netral. Ia punya efek mengubah hal-hal yang ia sentuh. Efek mengubah ini tidak selalu baik, namun justru bisa merusak nilai dari hal tersebut. Uang juga bisa menciptakan rasa iri yang lahir dari ketidakadilan, ketika orang yang memiliki uang banyak mendapatkan kesempatan lebih banyak, daripada orang yang lebih sedikit uangnya.

Pengaruh Uang
Salah satu yang membuat hidup kita bahagia adalah persahabatan. Seorang sahabat hadir, ketika kita membutuhkan bantuan. Ia juga hadir, ketika kita senang, atau sedang ingin merayakan sesuatu. Apa yang terjadi, ketika kita membayar seseorang, supaya ia mau menjadi sahabat kita?
Seks adalah ekspresi dari cinta. Orang melakukannya, karena mereka saling mencintai. Mereka ingin saling membahagiakan. Apa yang terjadi, jika kita membayar orang, supaya ia mau berhubungan seks dengan kita?
Michael Sandel, di dalam bukunya yang terbaru, What Money Can’t Buy (2013), juga menjelaskan, bahwa uang juga mempengaruhi kinerja orang di dalam pekerjaannya. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang mekanis, seperti administrator atau tukang sapu, uang memang bisa memberikan motivasi tambahan, supaya orang bekerja lebih rajin. Namun, untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat kreativitas tinggi, uang tidak memberikan dampak apapun, atau justru melunturkan motivasi.
Inilah yang saya sebut sebagai paradoks insentif. Dunia bisnis amat gembira, ketika mereka menemukan mekanisme sederhana, bahwa orang bisa bekerja lebih rajin, karena diberikan uang lebih. Uang lebih inilah yang disebut sebagai insentif. Namun, cara ini tidaklah universal, melainkan hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu.

Pendidikan
Di beberapa sekolah internasional di Jakarta, anak dibayar dengan jumlah uang tertentu, supaya ia lebih rajin membaca buku. Orang tua dan sekolah setuju dengan cara ini demi satu tujuan, yakni meningkatkan minat baca anak. Harapan mereka, dengan cara ini, anak akhirnya suka membaca buku, lalu ia akan terus membaca buku, walaupun tidak lagi diberikan uang. Namun, seperti saya jelaskan sebelumnya, uang mengubah nilai benda-benda yang disentuhnya, termasuk juga nilai membaca buku.
Ketika anak membaca buku, karena ia dibayar oleh orang tua atau sekolahnya, maka ia akan belajar tentang nilai yang salah. Ia tidak akan bisa menemukan nilai kenikmatan membaca buku, karena nilai itu dilunturkan oleh nilai lainnya, yakni mendapatkan uang. Uang membuat orang belajar tentang hal yang salah. Ia mengaburkan nilai berharga yang hendak diajarkan, dan akhirnya justru memelintirnya menjadi sesuatu yang amat purba, yakni mendapatkan uang untuk memperoleh kenikmatan lebih tinggi.
Ketidakadilan dan Korupsi
Sandel juga menjelaskan, bahwa kehadiran uang juga bisa menciptakan ketidakadilan. Orang-orang yang memiliki uang akan membayar lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan fasilitas lebih banyak. Sementara, orang-orang yang memiliki uang lebih sedikit juga akan mendapatkan fasilitas yang lebih sedikit, atau tidak sama sekali. Jika pola ini berulang di berbagai bidang kehidupan (pendidikan, politik, ekonomi), dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan tercipta kesenjangan sosial yang besar, yang berpeluang menciptakan konflik di masyarakat.
Uang juga memiliki efek korup. Dalam arti ini, korupsi berarti penurunan nilai dari apa yang kita kerjakan. Ketika kita membantu orang, kita melihat tindakan kita sebagai sesuatu bernilai. Namun, ketika orang yang kita bantu membayar kita, nilai tindakan kita berubah menjadi semata nilai ekonomi yang bisa diukur dengan uang. Dalam arti ini, nilai membantu telah dikorup menjadi semata nilai ekonomi, karena nilai yang sesungguhnya dari tindakan membantu telah luntur, karena telah disentuh dengan uang.
Uang juga melahirkan godaan yang besar untuk korupi, dalam arti menggunakan uang bersama untuk kepentingan pribadi. Sistem politik dan hukum Indonesia adalah contoh paling jelas, bagaimana uang telah mengaburkan semua nilai, dan menggantinya semata menjadi nilai ekonomi, sehingga mengundang orang untuk melakukan korupsi. Ketika sistem politik dan hukum di posisi puncak telah korup, maka semua segi kehidupan masyarakat lainnya juga akan korup. Ikan membusuk dari kepalanya, lalu seluruh badannya pun akan membusuk.

Uang sebagai Ideologi
Kecenderungan untuk mengukurkan segalanya dari nilai ekonomi disebut juga sebagai die panökonomische Ideologie. Peter Leuprecht di dalam tulisannya yang berjudul Überlegungen zum internationalen Schutz der Menschenrechte (2013)menjelaskan, bahwa cara berpikir ini telah merusak nilai-nilai luhur manusia, yang tercermin di dalam rumusan hak-hak asasi manusia. Ia adalah musuh utama penegakkan hak-hak asasi manusia, baik di tingkal nasional maupun global. Ia mengancam kedamaian hidup bersama, karena setiap orang tergoda untuk menjadi rakus akan uang.
Contoh paling jelas dari panökonomische Ideologie adalah pola politik di Amerika Serikat sekarang ini. Pemerintah dan rakyatnya nyaris tak berdaya menghadapi kekuatan politik perusahaan-perusahaan besar di sana. Motif utama mereka cuma satu, yakni mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tanpa peduli nilai-nilai lainnya. Padahal, nilai-nilai tersebut, seperti solidaritas, pengorbanan dan kesetaraan sosial, adalah nilai-nilai yang mengikat AS sebagai satu bangsa.
Ketika nilai-nilai itu luntur, akibat sepak terjang uang yang tanpa aturan, maka masyarakat pun akan ikut hancur. Hidup bersama akan menjadi amat sulit, karena setiap orang menjadi begitu egois untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih lagi, kalau perlu dengan merugikan orang lain, atau kepentingan bersama. “Yang Sosial” (das Soziale) yang menjadi dasar dari kebersamaan juga lenyap, dan digantikan oleh egoisme ekstrem. Maka, peran uang harus terus dibatasi dengan peraturan, hukum dan moralitas, supaya ia menjadi alat untuk kebaikan bersama, dan bukan tujuan utama.

Uang dan Krisis Tujuan Hidup
Di dalam artikelnya yang berjudul Philosophie des Geldes: Wir haben die Vernunft verloren (2010), Gerhard Hofweber berusaha menjelaskan, bahwa hidup bersama kita telah kehilangan akal sehatnya, sehingga mendewakan uang di atas segalanya. Pandangan bahwa uang adalah nilai tertinggi adalah kesalahan terbesar peradaban modern. Manusia modern menjadi buta, karena ia tidak bisa membedakan, mana yang merupakan alat, dan mana yang merupakan tujuan.
Hofweber menjelaskan, bahwa pandangan Aristoteles yang berusia lebih dari 2000 tahun yang lalu tentang uang masih bisa menjelaskan situasi kita sekarang ini. Baginya, uang adalah alat bagi satu tujuan tertentu. Artinya, apa yang orang beli dengan uang haruslah memiliki nilai yang lebih tinggi, daripada uang itu sendiri. Jika tidak, maka sebaiknya orang tidak membeli barang tersebut.
Ketika kita membeli barang, maka barang itu haruslah memberikan setitik kebahagiaan (Glück) pada kita. Kebahagiaan yang kita terima tersebut haruslah juga lebih tinggi, daripada uang yang kita keluarkan. Menurut Aristoteles, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi hidup manusia. Dalam arti ini, kebahagiaan berarti kepenuhan hidup, dan bukan semata kenikmatan sesaat.
“Apa yang kita lakukan”, demikian tulis Hofweber, kita lakukan pada akhirnya untuk menjadi bahagia.” Maka, uang pun juga harus ditempatkan dalam cara berpikir ini. Uang adalah alat untuk menjadi bahagia, yakni menjadi penuh dalam hidup ini. Namun, untuk mencapai kepenuhan hidup, orang butuh lebih dari sekedar uang. Yang lebih dibutuhkan adalah hidup yang berkeutamaan, yakni hidup yang berpijak pada nilai-nilai luhur dan masuk akal. Uang hanyalah alat semata, guna mencapai tujuan ini.
Sekarang ini, banyak orang lupa pada tujuan hidupnya. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup tidak lagi menjadi tujuan. Ketika ini terjadi, maka orang bingung akan perbedaan antara alat dan tujuan. Alat berubah menjadi tujuan. Uang berubah menjadi tujuan, dan akhirnya mengacaukan seluruh tatanan hidup, baik hidup pribadi maupun hidup bersama.
Ketika uang menjadi tujuan, ia lalu dilihat sebagai kebutuhan utama. Yang menyeramkan adalah, kebutuhan akan uang tidak akan pernah cukup. Berapapun pendapatan seseorang, ia tetap akan merasa tidak cukup, karena hidupnya kehilangan tujuan yang sejati, yakni kepenuhan hidup itu sendiri. “Ketika hidup yang baik dan pemikiran yang masuk akal tidak lagi menjadi ukuran”, demikian Hofweber, “maka kebutuhan akan uang akan menjadi tidak terbatas, dan kerakusan adalah dampak logisnya.”
Krisis tujuan hidup dan krisis akal sehat, itulah yang menandai jaman kita sekarang. Dampaknya beragam, mulai dari kecanduan narkoba, sampai dengan kecanduan olah raga ekstrem, guna mengisi kekosongan tujuan hidup tersebut. Perilaku-perilaku aneh mulai bermunculan, mulai dari pesta seks tanpa batas, permainan saham yang amat beresiko, sampai dengan perselingkuhan massal. Semua hal yang membawa kenikmatan sesaat dicoba, guna mengisi kekosongan tujuan hidup dan krisis akal sehat tersebut.
Ironisnya, semua itu tidak akan pernah berhasil membawa kebahagiaan dan kepenuhan hidup. “Apapun usaha kita, selama kita masih berpikir dengan cara lama, selama kita masih mengisi harapan-harapan yang lama,” demikian kata Hofweber, “maka kita tidak akan pernah merasa penuh.” Ia menyebut semua usaha mengisi kekosongan hidup ini sebagai die Perspektive der Maximierung, atau cara pandangan maksimalisasi, yang hendak mengusahakan segala cara, guna mengisi kekosongan hidup, tetapi tidak akan pernah berhasil. Kegagalan ini terjadi, karena kita bingung akan perbedaan antara alat (Mittel) dan tujuan (Zweck) di dalam hidup kita.

Uang dan Tuhan
Michael Bienert menulis artikel dengan judul Philosophie ein Gott namens Geld (2008). Ia melihat, bahwa uang di dalam masyarakat modern telah menjadi sedemikian terlepas dari kontrol manusia. Akibatnya, bukan manusia yang mengontrol uang, melainkan uang yang mengontrol manusia. Uang sudah seperti Tuhan itu sendiri; mampu mendikte tindakan-tindakan manusia.
“Semakin sempurna uang dirasa sebagai alat tukar”, demikian tulis Bienert, “semakin ia abstrak dan tanpa materi, dan semakin ia menjadi universal, maka ia akan semakin mirip dengan Tuhan.” Uang kini tidak lagi berbentuk fisik, baik kertas atau logam. Ia menjadi sekedar nomor kartu kredit atau kartu debet. Ia menjadi semakin abstrak, jauh dari jangkauan tangan fisik manusia.
Namun, pengaruhnya justru semakin besar. Orang bisa menggunakannya, walau tak mempunyainya, misalnya seperti kredit. Ia punya kekuatan besar, bahkan bisa mengubah salah menjadi benar, misalnya dengan menyewa pengacara bertarif tinggi untuk menyelamatkan koruptor dari hukuman penjara. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa uang telah menjadi Tuhan yang mengatur hidup manusia, walaupun uang adalah ciptaan manusia itu sendiri.
Banyak orang percaya, bahwa manusia itu bebas. Namun, mereka lupa, bahwa kebebasan pun ada harganya. Untuk memiliki dan menikmati kebebasan, orang perlu uang. Untuk menikmati perjalanan liburan yang menyegarkan, orang perlu membeli tiket pesawat. Untuk bisa menikmati buku yang bagus, orang perlu uang untuk membeli buku itu. Tak berlebihan juga jika dikatakan, uang adalah prasyarat untuk kebebasan.

Uang dan Hubungan antar Manusia
Yang juga diperhatikan oleh Bienert, dengan menggunakan kerangka teori dari Georg Simmel di dalam bukunya yang berjudul Philosophie des Geldes, adalah bagaimana uang justru menghancurkan kultur dan nilai-nilai sosial yang ada. Di kota-kota besar Jerman awal abad 20, seperti Berlin, sebagaimana dinyatakan oleh Simmel, uang menjadi begitu penting. Ia berperan tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai penentu hubungan antar manusia.
Logisnya, dengan adanya uang, maka hidup akan semakin makmur, dan manusia justru akan menjadi bahagia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Uang justru mengkorupsi hubungan antara manusia. Ketika cinta dan persahabatan bercampur baur dengan uang, maka nilai keduanya akan terkorupsi, dan menjadi rendah nilainya. Uang memungkinkan sekaligus menghancurkan kultur dan hubungan antar manusia itu sendiri.

Melampaui Uang
Belajar dari pemaparan Sandel, Leuprecht, Bienert dan Simmel, kita jadi sadar, bagaimana uang tidak pernah netral di dalam hidup manusia. Uang membawa pengaruh yang besar bagi setiap hal yang disentuhnya. Ia berfungsi sebagai pemberi motivasi (insentif), atau justru mengkorupsi nilai-nilai luhur yang ada, sehingga menjadi rendah. Ia memicu kinerja, sekaligus menghancurkan cinta, persahabatan serta solidaritas sosial yang mengikat kehidupan bersama manusia.
Belajar dari Hofweber, kita perlu untuk menempatkan uang ke tempat asalnya, yakni sebagai alat dari tujuan hidup manusia yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan dan kepenuhan hidup. Untuk itu, kita perlu menggunakan pikiran kita tidak hanya untuk mencari dan mengumpulkan uang, tetapi untuk bertanya ulang, apa yang membuat hidup kita sebagai manusia itu penuh, dan apa tujuan sebenarnya dari semua yang kita lakukan. Untuk itu, kita perlu melampaui cara berpikir teknis. Atau apa yang Heidegger tawarkan dalam buku kecilnya Was heißt Denken sebagai berpikir dalam artinya yang paling sejati.
Dalam konteks politik, uang perlu diatur sedemikian rupa, sehingga ia tidak mengaburkan nilai-nilai sosial yang ada. Sistem keuangan, baik dalam bentuk investasi saham ataupun bentuk-bentuk derivasinya, perlu untuk diatur sedemikian ketat, sehingga ia tidak merusak stabilitas politik yang ada. Pasar bebas, yang membiarkan uang bergerak tanpa aturan, dan akhirnya merasuk ke dalam berbagai sendi kehidupan manusia, adalah ilusi yang hanya akan membawa pada kehancuran dan krisis berkepanjangan. Ini semua perlu dilakukan, supaya kita tidak salah kaprah, karena melihat uang sebagai Tuhan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar