Relasi Cinta Kepemilikan
Cinta, dalam hal ini cinta
yang diterjemahkan dalam bentuk pola relasi, selalu dilihat dengan cara
kepemilikan. Ketika dua orang, atau lebih, sedang saling mencinta dalam
melakukan pola relasi, segera langsung saja keinginan untuk memiliki menjadi
akartunjang dalam hubungan pola relasi berikutnya. Cinta telah merubah pola
relasi kedua orang tersebut, yang sebelumnya tidak mengenal konsep atau logika
kepemilikan.
Konsep kepemilikan manusia
atas nama cinta tentu saja merupakan fenomena sosial. Dimaksud fenomena sosial,
persoalan tersebut tidak lepas dari faktor kultur dan sosial yang ada. Dengan
demikian, konsep tersebut dapat dilacak penelusuran perjalanannya. Dan, untuk
dapat melakukan hal tersebut, disiplin antropologi dan arkeologi, mungkin juga
filologi, merupakan hal yang sangat membantu untuk merekonstruksi konsep
kepemilikan manusia atas nama cinta. Akan tetapi, karena keterbatasan dan
kesulitan tersendiri, saya tidak akan mengkritik secara mendalam dengan
menggunakan hasil kajian antropologis dan arkeologis untuk tulisan ini kali.
Sebagai sebuah pengantar soal poliamor, saya berpendapat bahwa mengenyampingkan
data-data material soal tersebut masih bisa diterima.
Sejak cinta dipahami sebagai
suatu logika untuk memiliki manusia atas nama cinta, tentu saja patut
dipertanyakan soal cinta itu sendiri. Sebelum itu, dimaksud dengan logika atau
konsep memiliki manusia atas nama cinta ialah memaknai dan membaca cinta
sebagai pola relasi yang tidak membebaskan kedua orang yang menjalankannya.
Dengan cinta, kebebasan kehendak manusia mendadak terenggut begitu saja. Pola
relasi tidak dijalankan dengan cara kesepakatan bersama.
Kebebasan kehendak yang
menjadi akartunjang manusia dalam menentukan sikap atau mengambil pilihan hidup
terenggut oleh kekasihnya. Manusia dengan seenaknya diperlakukan laiknya
seperti benda yang tak berkesadaran. Membicarakan otonomi manusia, secara
ontologis ia berpijak pada kebebasan berkehendak manusia. Tanpa ada kebebasan
kehendak manusia, maka tiada sikap otonomi manusia itu sendiri, pun justifikasi
moralitas. Kebebasan kehendak dalam diri manusia merupakan hal inheren. Ia
harus dirayakan dalam pola relasi yang dibangun dengan landasan cinta. Itulah
yang dimaksud dengan kepemilikan manusia atas nama cinta. Dengan demikian,
memiliki manusia bukan hanya menafikan kebebasan kehendak manusia, melainkan
juga memang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Ketika kebebasan
kehendak manusia dinafikan, pada dasarnya hal tersebut sama saja dengan
perbudakan. Dengan demikian, menjalani pola relasi cinta yang di dalamnya
kebebasan kehendak salah satu partisipannya dinafikan sedemikian, sama saja
dengan menjalani perbudakan, paling tidak pada tataran substansi memiliki hal
sama. Cinta adalah berbicara perayaan kebebasan kehendak, bukan penafian
kebebasan kehendak.
Secara umum, kebebasan
kehendak selalu absen atau tidak dirayakan dalam hubungan yang didasarkan
cinta. Penafikan kebebasan kehendak manusia dalam percintaan dengan mudah dapat
ditemukan. Seseorang mendadak kehilangan sikap swakelola dalam mengambil
keputusan yang terkait dengan kehidupannya. Seperti, berpindah agama semata
pasangannya memeluk agama yang beda dengan dirinya agar kekasihnya mau
meneruskan hubungannya; berhenti bekerja semata pasangan memintanya; berhenti
menjalani aktivitas yang disenangi semata sang kekasih tidak menyukainya; dll.
Mendadak, segala tindakan
harus mendapatkan izin. Seperti, jika hendak bepergian ke suatu tempat akan
menjadi salah jika tidak memberitahu sebelumnya; akan menjadi salah jika
menghabiskan waktu dengan teman tanpa memberitahu kekasih; dll.
Mendadak, seseorang terpaksa
menyisihkan waktu untuk kekasihnya dengan cara menghapus waktu untuk kegiatan
yang lain tanpa ada musyawarah yang dilakukan terlebih dahulu. Seperti,
membatalkan janji pada suatu urusan dengan alasan takut kekasihnya memarahinya
jika tidak menemani; mengurangi agenda kegiatan yang sangat ingin dilakukan dan
menyenangkan semata sang kekasih meminta banyak waktu untuknya tanpa
memedulikan kesibukan kehidupan pasangannya; dll.
Mendadak, sikap afeksional,
katakanlah kasih-sayang, untuk orang lain ditekan atau dinafikan sedemikian
rupa. Seperti, tidak boleh mengunjungi teman yang dikangeni yang sudah lama
tidak berjumpa; tidak boleh membagi waktu untuk teman; dicemburui atas kedekatan
kita dengan teman, yang kadang sang teman lebih lama kita kenal tinimbang sang
kekasih itu sendiri; tidak boleh membagi kasih-sayang dengan teman maupun yang
lainnya. Dengan alasan, hanya kekasih kita saja yang layak untuk
mendapatkannya, yang lain tidak; memisahkan dan mempertentangkan suatu sikap
afeksional dengan cara memilih antara teman dengan kekasih; dll.
Mendadak, sikap cemburu yang
berlebihan sedemikian rupa selalu hadir dalam pola relasi yang dibangun.
Seperti, jika kita pergi dengan seseorang, sang kekasih selalu menuduh kita
telah melakukan perselingkuhan, atau sudah tidak menyayangi dirinya lagi;
selalu dicurigai tanpa berdasar terhadap pola relasi kita dengan teman-teman;
dll.
Mendadak, orang kehilangan
sikap otonom atas tubuhnya. Seperti, tidak boleh memakai pakaian yang kita
nyaman menggunakannya semata ada bagian tertentu dari tubuh yang terlihat;
membentuk dan merawat tubuh agar ideal semata permintaan pasangan agar tidak
ditinggal; kekasih melarang menghiasi tubuh sendiri semata karena dia tidak
menyukainya (misalnya, tato, body piercing, dll.); melakukan kekerasan
fisik semata sebagai pasangan berhak melakukannya; dll.
Mendadak orang menjadi tidak
berani lagi dalam mengambil sikap dan keputusan serta pilihan. Seperti, selalu diharuskan
meminta izin jika pengin mengambil sikap dan keputusan serta pilihan menyangkut
diri sendiri, yang sebelum kehadiran pasangan hal tersebut dilakukan sendiri
harus tanpa izin;
Mendadak berpraanggapan
bahwa hanya seorang saja yang pantas dan layak serta harus diberikan cinta dan
kasih-sayang kita, yang lain tidak. Mendadak, terdapat stratifikasi pola relasi
baru bahwa kekasih lebih utama ketimbang teman, orangtua, guru, atau siapa
saja, selain kekasih sendiri.
Mendadak, seseorang harus
menuruti perkataan kekasihnya, tanpa memeriksa apakah, atau terlepas dari,
perkataan sang kekasih benar atau tidak. Sang kekasih mendadak menjadi Nabi
atau Dewa, bahkan Tuhan, tanpa cela yang layak didengar. Sebuah perkataan sang
kekasih selalu benar, tanpa perlu diperiksa. Kadang-kadang, kekasih melebihi
Tuhan itu sendiri.
Mendadak,
peraturan-peraturan muncul dalam pola relasi yang dibangun di atas dasar
pijakan cinta itu, tanpa ada samasekali upaya dialog atau kesepakatan dalam
perumusannya. Peraturan tersebut melingkupi pelbagai hal. Seperti, pakaian,
makanan, kesukaan, teman, pilihan, dll. Peraturan tersebut dirumuskan secara
sepihak dan diberlakukan untuk sepihak saja. Bahkan, tidak sedikit peraturan
tersebut malah terjebak pada normativitas kultural dan sosial, bukan dengan
sinaran cinta itu sendiri. Seperti, seorang wanita tidak boleh merokok, meminum
minuman beralkohol, bertato, karena tidak pantas dilihat atau dinilai oleh
masyarakat; lelaki itu harus menjaga dan mencari nafkah; lelaki itu harus
bekerja, wanita tidak; dll.
Mendadak, seseorang menjadi
sering berhadapan dengan pertengkaran dengan kekasihnya dalam pola relasi yang
dibangun, tanpa samasekali pernah memaknai cinta sebagai hal yang membebaskan
dan membahagiakan. Dengan demikian, ketika cinta menjadi tidak membebaskan dan
membahagiakan, maka ada yang salah dengan pembacaan dan pemaknaan cinta itu.
Tapi, tetap saja pola relasi demikian dipertahankan. Seakan ketakutan
kehilangan, sehingga seakan hal tersebut, mengakhiri hubungan, dapat membuat
dunia berakhir. Sering kita mendengar keluhan seperti: “Iya, saya tahu bahwa
pasangan saya selalu kasar terhadap saya, bahkan menyakiti dengan cara
kekerasan fisik. Tapi, saya masih sayang sama dia.” Yang perlu diperhatikan di
sini ialah antara afeksi dengan keputusan untuk membuat suatu komitmen dengan
pasangan adalah dua hal berbeda. Cinta adalah satu hal dan komitmen atau pola
relasi adalah lain hal. Dengan demikian, tidak semua orang yang kita cinta bisa
menjadi pasangan kita. Memutuskan hubungan dengan orang yang kita cinta bukan
berarti kita menipu diri kita sendiri, melainkan memang tidak bisa melakukan
pola relasi yang mengandaikan kerja sama atau kemitraan (partnership).
Kemitraan di sini yang memang selalu luput dalam pembacaan dan pemaknaan dalam
menjalankan hubungan yang bersandarkan cinta. Relasi cinta, entah itu disebut
dengan pacaran, pernikahan, atau apa pun namanya itu, ia mengandaikan prinsip
kemitraan dalam upaya menjalaninya. Tanpa kemitraan, kita akan gagal membangun
relasi cinta yang sehat—bahkan kalau mau lebih ekstrem, tidak ada relasi cinta
tanpa kemitraan.
Problematika cinta yang
sudah dipaparkan itu, yang mungkin masih banyak problematika lainnya, bersumber
pada satu hal, yakni hilangnya kebebasan berkehendak salah satu pasangan dalam
relasi cinta. Implikasinya, cinta malah memiliki. Seperti yang sudah
disebutkan, bahwa memiliki di sini diartikan sebagai penafian kebebasan
kehendak dan kesadaran seorang partisipan dalam relasi cinta. Laiknya benda
yang tak berkesadaran, keberadaannya kita yang menentukan. Kendati demikian,
walaupun kita bebas memperlakukan benda yang kita miliki dengan cara apa pun,
tetap saja fakultas akal membimbing kita. Maksud saya, walaupun benda itu tidak
berkesadaran, tidak berarti kita bisa memperlakukan seenaknya saja. Paling
tidak, perlakukan kita terhadap benda tersebut dipengaruhi oleh faktor
emosional dan akal kita. Katakanlah, telpon genggam, sebagai benda, yang saya
miliki, dengan bebas bisa saya perlakukan sesuka hati. Bisa saja saya banting
tanpa alasan. Akan tetapi, fakultas akal saya segera mempertanyakan sikap saya.
“Jika, telpon genggam saya
banting sampai rusak, bagaimana nanti saya berkomunikasi yang membutuhkan
telpon genggam?”
“Kenapa saya harus
membanting telpon genggam saya tanpa sebab?”
“Apakah dengan membanting
telpon genggam kekesalan saya bisa berkurang?”
Jika, benda saja
diperlakukan masih penuh dengan pertimbangan emosional dan akal kita, maka
memperlakukan manusia sebagai benda benar sangat tidak bisa dibenarkan secara
akal. Terlebih jika kita memperlakukan manusia sebagai benda dengan diikuti
tanpa pertimbangan emosi dan penalaran, sungguh sangat tidak bisa dibenarkan
tidak hanya secara akal, melainkan fakultas hati/intuisi manusia kita.
Selama ini kecenderungan
umum dalam menjalankan relasi cinta selalu terjebak dengan ketimpangan. Yang
satu menjadi supraordinat, sedangkan yang lain tersubordinatkan. Saya katakan
terjebak, kadang kala hal tersebut diakibatkan atas bentuk cara pemikiran kita
dibangun. Tentu saja, saya sedang tidak menafikan faktor di luar pemikiran.
Katakan saja, faktor lingkungan atau sosial dan kultural turut membentuk
pemikiran kita. Dengan demikian, tidak seperti yang diduga, cinta juga tidak
mululu urusan hati, melainkan juga persoalan rasional dan sosial serta
kultural.
Bentuk Cinta Nonkepemilikan
Bagian sebelumnya memaparkan
dan menjelaskan relasi cinta yang dijalankan secara kepemilikan dan
nonkemitraan. Bagian berikut membahas bentuk cinta nonkepemilikan, yakni
poliamor. Selain membahas poliamor, saya juga akan memaparkan gagasan saya soal
relasi cinta, yakni cinta kemitraan (love partnership atau love
ecological), yang juga bisa dikatakan sebagai kritik saya atas poliamor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar