Kebaikan adalah harapan
universal manusia. Setiap orang, jauh di dalam hatinya, ingin menjadi orang
baik. Mereka ingin melakukan kebaikan, sedapat mungkin setiap saat dalam
hidupnya. Dorongan untuk menjadi baik sudah selalu tertanam di dalam diri
manusia.
Tradisi, Diri dan Hati Nurani
Sedari kecil, kita diajarkan juga untuk menjadi baik.
Tentu saja, pemahaman tentang apa yang baik terkait dengan moralitas
berbeda-beda. Agama dan budaya memainkan peranan besar dalam hal ini. Namun,
ini semua tidak menjawab, mengapa orang menemukan dorongan untuk menjadi baik
di dalam hatinya.
Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan, bahwa menjadi
baik adalah bagian dari proses pelestarian diri manusia (self-preservation).
Orang yang baik hati dan tindakannya cenderung lebih sukses dan bahagia dalam
hidupnya. Mereka disukai keluarga dan teman-temannya. Ketika krisis melanda,
mereka bisa mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.
Di samping pertimbangan untung rugi semacam ini, ada
orang yang berbuat baik, karena dorongan hatinya (conscience). Ia merasa, jika
berbuat baik, ia mengikuti panggilan hidup terdalamnya. Hati nuraninya
memanggilnya untuk terus berbuat baik saat demi saat di dalam hidupnya.
Pertimbangannya tidak lagi untung rugi demi pelestarian dirinya, melainkan
dorongan hati nurani sebagai keutamaan (virtue).
Immanuel Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman, juga
menegaskan, bahwa moralitas, yakni pemahaman tentang baik dan buruk, sudah
selalu tertanam di dalam akal budi kita sebagai manusia (Vernunft). Menjadi
baik itu rasional, karena sesuai dengan kodrat alamiah akal budi kita. Hukum
moral sudah selalu tertanam di dalam sanubari manusia, dan mewujud secara
konkret di dalam kewajiban (Pflicht) hidup sehari-hari yang dijalankan
dengan setia.
Gagal
Lepas dari keempat hal ini, banyak orang tetap tidak
mampu mencapai kebaikan, walaupun mereka menginginkannya. Harapan mereka tidak
sejalan dengan tindakan nyata mereka. Niat baik tidak dibarengi dengan kerja
nyata untuk mencapai kebaikan. Sebaliknya yang terjadi, yakni orang yang dikira
baik ternyata menjadi koruptor, atau menjadi pelaku kejahatan biadab lainnya.
Mengapa ini terjadi? Mengapa niat baik kerap kali menjadi
buah mimpi belaka, tanpa pijakan kenyataan? Saya berpendapat, bahwa ini
terjadi, karena empat alasan di atas, yakni tradisi, pelestarian diri, akal
budi dan hati nurani, tidak mencukupi untuk menjadi dasar bagi kebaikan.
Keempatnya berpijak pada kesalahan berpikir dan ketidaktahuan.
Jika keempatnya tidak cukup, lalu apa dasar yang kokoh
bagi kebaikan? Saya berpendapat, dasar paling kokoh dari kebaikan adalah
kesadaran sepenuhnya akan jati diri sejati kita (awareness of our true self).
Artinya, kita paham, siapa kita sebenarnya, sebelum segala identitas sosial
ditempelkan pada kita.
Jati Diri Sejati
Kesadaran ini tidak dapat berhenti pada tingkat intelektual
saja. Konsep, pengetahuan serta kepercayaan, sebagaimana ditawarkan oleh agama,
filsafat dan ilmu pengetahuan modern, sama sekali tidak mencukupi. Kesadaran
mendalam atas jati diri sejati kita adalah puncak kebijaksanaan, sebagaimana
menjadi cita-cita dari berbagai orang besar sepanjang sejarah manusia.
Ini hanya dapat dicapai, jika orang bisa hidup disini dan
saat ini. Masa lalu ditunda sebagai ingatan semata. Masa depan dilihat sebagai
harapan belaka. Ketika tubuh dan pikiran bisa sepenuhnya disini dan saat ini,
semua identitas akan tertunda, dan orang akan bisa menyadari jati diri
sejatinya. Kesadaran akan keberadaan tubuh (body awareness) memainkan peranan
amat penting disini.
Keadaan pikiran (state of mind) semacam ini lalu
dipertahankan. Orang bekerja dan hidup dengan keadaan pikiran ini. Kebaikan
lalu menemukan dasar yang kokoh. Ia tidak lagi dipengaruhi oleh tekanan
tradisi, motif keuntungan diri ataupun kerapuhan hati nurani.
Bagaimana jika emosi kuat, seperti marah atau sedih,
datang melanda? Caranya sederhana: kita kembali ke kesadaran akan tubuh kita.
Segala emosi disadari, diberi nama dan dibawa ke dalam kesadaran akan tubuh
yang kita punya. Dengan cara ini, perlahan namun pasti, emosi akan melebur
dengan kesadaran yang merupakan jati diri sejati kita.
Kebaikan akan muncul secara alami. Saat demi saat, kita
menemukan kedamaian dalam diri kita. Emosi dan pikiran boleh datang. Namun,
kita selalu bisa membawanya ke dalam kesadaran tubuh kita. Disini, kebaikan
menemukan dasarnya yang paling kokoh. Tak percaya? Silahkan dicoba.
Sumber : www.rumahfilsafat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar