Senin, 26 Desember 2016

ZEN

Zen berasal dari bahasa Jepang yang artinya meditasi. Ini adalah serapan dari bahasa Sanksekerta Dyanna dan Ch’an dalam bahasa Cina. Semuanya memiliki arti sama, yakni meditasi. Namun, meditasi disini tidak berarti duduk berjam-jam, dan tidak melakukan apa-apa. Itu hanya satu jenis meditasi. Zen sebenarnya berarti memahami jati diri sejati kita. Banyak orang menyamakan diri mereka dengan nama dan identitas sosial mereka. Namun, nama bisa diubah. Identitas sosial pun berubah terus. Pekerjaan bisa berubah. Agama bisa berubah. Apa jati diri kita yang tidak bisa berubah dan abadi? Zen berusaha mengajak orang melakukan refleksi diri untuk mencari “hal yang tak berubah” (yang juga disebut sebagai hakekat-Buddha) yang ada di dalam diri kita. Dasar yang tak berubah ini menjadi sumber bagi kedamaian dan kejernihan bagi hidup kita, jika kita berhasil menyadarinya. Zen menawarkan banyak metode untuk mencapai “hal yang tak berubah” ini. Salah satunya adalah dengan mencerap keadaan disini dan saat ini, yang membawa orang pada kejernihan batin.


“Menemukan yang tak Berubah”, hmmm. Apakah Zen itu agama?
Pada hemat saya, Zen bukanlah agama. Agama selalu melibatkan keberadaan suatu entitas yang disebut sebagai Tuhan. Entitas ini memberikan prinsip-prinsip moral untuk manusia. Zen tidak ada hubungan dengan hal-hal semacam ini. Zen adalah jalan untuk sampai pada kebebasan batin. Caranya adalah dengan menyadari jati diri sejati kita yang ada sebelum nama dan semua identitas sosial kita. Zen menyebutnya sebagai hakekat Buddha yang dimiliki segala hal.

Bisa jelaskan sedikit soal hakekat Buddha yang tak berubah ini?
Segala hal di alam semesta ini diciptakan dari bahan-bahan yang sama. Dengan kata lain, substansinya sama. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Ada manusia. Ada hewan. Ada planet. Bentuknya berbeda, namun substansinya sama, karena berasal dari unsur-unsur yang sama. Fisika dan kimia modern sudah membuktikan hal ini. Zen mengajak orang untuk menyadari substansi dirinya ini, yang juga berarti substansi dari alam semesta. Zen mengajak orang untuk sadar, bahwa dia adalah alam semesta, dan alam semesta adalah dia. Di titik ini, semua ketakutan dan penderitaan lenyap. Yang ada adalah kejernihan dan kedamaian. Namun, sejatinya, hakekat Buddha ini tidak memiliki nama. Ia adalah kekosongan yang besar. Namun, ia juga bukan kekosongan, karena kekosongan hanyalah sekedar kata. Ia sesungguhnya tak memiliki nama.

Lalu, apa hubungan hakekat Buddha yang sejatinya tanpa nama ini dengan hilangnya penderitaan manusia? Itu tampaknya masih belum jelas.
Orang menderita, karena ia mengira ilusi sebagai kenyataan. Ilusi adalah segala hal yang dibentuk dalam konsep, seperti harta, nama baik, kekayaan, harga diri, waktu, ruang, tubuh dan sebagainya. Konsep adalah ilusi, karena ia mudah sekali berubah, dan bahkan lenyap. Penderitaan lahir, ketika orang mengira semua itu sebagai nyata, dan lalu menggantungkan hidupnya pada itu semua. Orang yang sudah memahami hakekat Buddhanya akan sadar, bahwa semua itu ilusi. Ia tidak melekat padanya. Ia hanya menggunakannya untuk membantu orang lain atau mahluk lain, yang juga adalah bagian dari dirinya. Ia tidak lagi menderita, ketika tidak punya uang, atau harga dirinya dilecehkan orang lain. Ia hidup dalam kedamaian dan kejernihan, serta siap untuk membantu siapapun dan apapun. Ia mengalami apa yang disebut sebagai kekebalan mental. Apapun yang terjadi di luar tidak akan membuat dirinya menderita.

Ini ajaran yang menarik dan penting. Siapa yang merumuskannya?
Zen sebenarnya berpijak pada Buddhisme. Jadi, yang merumuskan pertama kali adalah Sidharta Gautama, atau sang Buddha itu sendiri, sekitar 2600 tahun yang lalu. Dalam arti ini, Buddha adalah orang yang sudah bangun. Ia berhasil melampaui segala bentuk penderitaan yang dialami manusia. Di dalam perkembangannya, Bodhidharma, seorang biksu dari India, pergi ke Cina pada abad ke 6 , dan mengajarkan Zen di sana. Ia dikenal sebagai Patriakh pertama Zen. Ia mengajarkan cara langsung untuk sampai pada kesadaran akan hakekat Buddha yang ada di dalam diri setiap orang dan segala hal. Tidak ada teks atau buku suci. Tidak ada ritual. Yang ada hanyalah berbagai cara untuk menyadari hakekat Buddha di dalam diri, sehingga orang lalu sampai pada kesadaran akan kesatuan dari segala sesuatu. Di dalam kesadaran semacam ini, penderitaan menjadi kehilangan maknanya. Orang lalu hidup dengan kerjenihan dan kedamaian, serta bisa membantu orang ataupun mahluk lainnya, sesuai dengan kemampuannya.

Di judul ini, anda menulis: Zen dan Filsafat. Mengapa disebut filsafat? Apa hubungan antara Zen dan filsafat?
Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Para filsuf adalah pecinta kebijaksanaan. Dalam arti ini, Zen adalah filsafat. Ciri khas filsafat adalah penggunaan akal budi untuk sampai pada pemahaman dan kebijaksanaan. Zen menggunakan akal budi untuk melampaui akal budi tersebut, karena kebijaksanaan dalam diperoleh, jika orang melepaskan semuanya, termasuk akal budinya. Akal budi hanya alat, dan bukan tujuan dari hidup manusia itu sendiri. Pemutlakkan atas akal budi membawa orang pada penderitaan dan konflik satu sama lain, juga konflik dengan alam, seperti yang terjadi saat ini. Disini letak perbedaan fundamental antara Zen dan filsafat.

Bisakah dijelaskan lebih jauh? Mungkinkah orang hidup tanpa akal budi?
Akal budi digunakan sejauh ia dibutuhkan. Inti dari diri manusia bukanlah akal budi. Alam semesta adalah ruang kosong yang besar yang menjadi dasar dan unsur pembentuk dari segala sesuatu. Akal budi manusia tidak mampu menggapainya. Iman juga tidak mampu menggapainya, karena iman masih terjebak pada konsep dan bahasa yang dilihat sebagai kebenaran mutlak. Zen mengajak orang untuk pergi ke tempat sebelum konsep, sebelum bahasa, dan sebelum akal budi itu sendiri. Di tempat ini, orang menemukan kejernihan dan kedamaian. Di tempat ini, segala hal adalah satu dan sama. Aku adalah alam semesta, dan alam semesta adalah aku. Di tempat ini, tidak ada penderitaan. Orang pun lalu bisa berkarya untuk kepentingan semua mahluk, tanpa kecuali. Inilah cinta yang sejati, yakni cinta yang berpijak pada alam semesta, dan bukan pada kepentingan ego manusia.

Bisakah anda tunjukkan lebih jauh dimensi filosofis dari Zen?
Sama seperti filsafat, Zen mencoba memahami segalanya dengan akal budi. Tema-tema penting, seperti apa itu alam semesta, apa itu bahasa, batas-batas pengetahuan manusia, bagaimana kita harus hidup, pikiran, juga adalah tema di dalam Zen. Bedanya dengan filsafat, Zen tidak terjebak pada konsep dan bahasa untuk memahami semua itu. Zen hanya menggunakan bahasa dan konsep, guna melampaui bahasa dan konsep itu sendiri. Zen sadar, bahwa kebenaran yang sejati tidak terjebak pada konsep dan bahasa. Ia lebih atau bahkan berada “sebelum” bahasa dan konsep. Metode Zen sangat radikal, karena ingin memahami kenyataan apa adanya, dan bukan kenyataan yang telah ditutupi oleh bahasa dan konsep yang selalu memuat konteks sosial, sejarah dan budaya tertentu. Kenyataan sebelum bahasa dan konsep itu tidak memiliki nama. Ketika orang bisa menyadarinya, dan hidup dengan itu, maka seluruh hidupnya akan berubah. Ia akan menemukan kedamaian dan kejernihan. Dengan dua hal itu, ia lalu bisa melakukan apapun untuk menolong segala mahluk, tanpa kecuali.

Apakah Zen mengakui adanya Tuhan?
Zen bukan agama. Ia tidak memahami Tuhan dalam artian agama. Zen juga bukan filsafat dalam artian tradisional. Bagi Zen, segalanya adalah satu. Segala hal yang ada di alam semesta, termasuk manusia dan semua mahluk di luar bumi (jika ada), memiliki substansi yang sama. Bisa dibilang, Zen melihat segalanya sebagai “tuhan”. Maka, kita tidak boleh menyakiti diri sendiri, ataupun mahluk lain, karena kita semua adalah satu, yakni “tuhan” semesta itu sendiri. Namun, “tuhan” juga sebenarnya hanyalah kata dan konsep. Sejatinya, “tuhan” tidak memiliki nama. Ia adalah segalanya, sekaligus bukan apa-apa, karena ia berada di luar sekaligus “sebelum” bahasa dan konsep yang kita punya. Zen ingin menyadari sesuatu yang sejatinya tanpa nama ini. Kesadaran ini bisa mengubah seluruh hidup seseorang.

Jalan Hidup Zen
Jalan hidup Zen adalah jalan hidup untuk sungguh menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Nama kita bisa diubah. Semua identitas sosial kita juga bisa berubah. Tubuh akan hancur. Jika semua itu dilepas, lalu apa yang tersisa? Itulah jati diri alamiah kita sebagai mahluk semesta.

Jati diri alamiah kita hanya bisa disadari, jika kita hidup disini dan saat ini. Kita menjalani hidup kita saat demi saat dengan kesadaran penuh. Tidak ada kecemasan akan masa lalu ataupun masa depan. Tidak ada multitasking. Yang ada hanyalah, apa yang sedang kita lakukan saat ini? Lakukan sepenuh hati!

Hidup dari saat ke saat dengan kesadaran penuh adalah meditasi. Zen sendiri artinya adalah meditasi. Meditasi bukan hanya duduk, tetapi juga dalam menjalani hidup sehari-hari dari saat ke saat secara penuh. Ia membuahkan kejernihan serta ketenangan di dalam diri kita. Kita lalu bisa menjalankan tugas serta kewajiban kita kepada orang lain setiap saatnya.

Hakekat Pikiran
Titik awal Zen adalah kesadaran penuh, bahwa segala hal yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan pikiran kita. Materi menjadi terlihat konkret, karena kita memiliki panca indera yang terhubung dengan pikiran kita. Jika panca indera kita berbeda, maka materi pun akan terlihat berbeda. Semua benda, kata, konsep dan penilaian adalah ciptaan pikiran kita. Mereka tidak berada secara mandiri, lepas dari pikiran kita.

Pikiran kita menciptakan itu semua. Kita lalu melekat pada hasil ciptaan pikiran kita, dan lalu menderita. Kita kecanduan untuk memperoleh kenikmatan. Namun, nikmat dan derita adalah dua sisi dari koin yang sama. Kita tidak bisa mendapatkan yang satu, tanpa yang lainnya. Ketika kita memperoleh kenikmatan, maka bersiaplah untuk menderita.
Pikiran manusia juga ambigu. Ia kerap jatuh pada analisis berlebihan. Ini akhirnya menciptakan kecemasan dan ketakutan yang tidak perlu. Pikiran manusia itu seperti monyet. Ia suka melompat-lompat, tanpa bisa diatur. Pada titik terparah, pikiran manusia yang tak teratur mendorong orang pada sakit fisik, seperti kanker dan jantung, atau justru bunuh diri.

Sebelum Pikiran
Zen hendak mengajak orang untuk menjaga jarak dari pikirannya sendiri. Ia mengajak orang untuk bergerak ke titik sebelum pikiran, yakni ke jati diri sejatinya sebagai manusia. Apa yang ada sebelum pikiran? Yang jelas, tidak ada konsep. Tidak ada ketakutan. Yang ada hanya satu: ruang besar yang penuh kedamaian.

Ketika orang bisa menjaga jarak dari pikirannya, dan memasuki ranah sebelum pikiran, maka ia memasuki ruang besar yang penuh kedamaian tersebut. Zen lalu melatih orang untuk bisa hidup dari titik kedamaian tersebut. Orang jadi sepenuhnya terbuka pada kehidupan, dan menjalani terus dengan keyakinan diri, apapun yang terjadi pada dirinya. Go straight, don’t know!

Ketika makan, ya kita sepenuhnya makan. Ketika tidur, ya kita sepenuhnya tidur. Ketika melihat, ya kita sepenuhnya hanya melihat. Ketika mendengar, ya kita sepenuhnya hanya mendengar. Ketika berjalan, ya kita sepenuhnya hanya berjalan. Inilah jalan hidup Zen.

Konflik dan Penderitaan
Ketika menghadapi konflik, kita juga sadar, bahwa yang marah dan benci adalah pikiran kita. Pikiran kita bukanlah kita. Pikiran adalah hasil dari bentukan masa lalu kita. Ia penuh dengan beban ingatan, penyesalan dan kecemasan. Ketika mendalami Zen, kita belajar untuk menjaga jarak dari pikiran kita. Kita tidak lagi larut dalam pikiran yang datang dan pergi setiap saatnya.

Jika ini bisa dilakukan, semua masalah bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Negosiasi dan diskusi adalah jalan yang ditempuh di dalam semua masalah. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kebencian. Tidak ada emosi. Semua itu hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang tak terlatih.

Ketika menderita, kita juga lalu sadar, bahwa yang menderita bukanlah kita, melainkan pikiran kita. Pikiran kita menderita, karena ia tidak mendapatkan yang ia inginkan. Jika kita bertekun di jalan Zen, kita tidak lagi larut dalam pikiran kita. Kita pun juga tidak lagi larut di dalam penderitaan yang kita alami. Pendek kata, kita bisa tetap damai, walaupun menderita.

Cinta dan Kejernihan
Buah utama dari Zen adalah kejernihan pikiran dari saat ke saat di dalam hidup. Dengan kejernihan, orang lalu bisa mencintai semua hal, tanpa kecuali. Mencintai dan mengasihi adalah hukum utama semua agama dan aliran kepercayaan di muka bumi ini. Maka, ketika orang menekuni jalan Zen, ia justru semakin dalam memahami agama yang telah ia peluk. Zen tidak membuat orang berpindah agama, tetapi justru membuat orang semakin dalam menghayati agamanya.

Cinta, yang berpijak pada jalan Zen, adalah cinta yang secara alami yang muncul dari hati. Ia bukanlah perintah moral dari tradisi ataupun orang suci. Di dalam Zen, cinta lahir dari kesadaran mendalam, bahwa segala hal yang ada di alam semesta ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, bahkan dengan mahluk planet lain yang kita belum kenal. Perbedaan adalah ilusi ciptaan pikiran.

Kesadaran semacam ini hanya dapat diperoleh, jika orang paham, siapa dia sebenarnya, sebelum segala pikiran muncul. Sebenarnya, kita adalah alam semesta. Kita adalah bintang di langit dan galaksi di ujung alam semesta nun jauh disana. Kesadaran ini menjauhkan kita dari penderitaan yang tak perlu, dan mengajarkan kita untuk mengasihi segala hal, tanpa kecuali.

Kesehatan dan Terapi
Dengan menekuni jalan hidup Zen, orang akan mendapatkan ketenangan batin. Ketenangan batin amatlah penting untuk kesehatan mental seseorang. Zen, dalam arti ini, juga bisa menjadi terapi bagi segala bentuk penyakit kejiwaan. Zen juga dapat dilihat sebagai langkah pencegahan, supaya orang tidak terjatuh ke dalam beragam penyakit kejiwaan.

Kesehatan mental juga terkait erat dengan kesehatan fisik seseorang. Begitu banyak penyakit fisik yang lahir dari kecemasan dan ketakutan yang berlebihan. Stress dan depresi membunuh sel otak dan menciptakan ketidakseimbangan hormon. Ini semua bisa menciptakan penyakit hormonal, dan beragam jenis kanker.

Untuk orang-orang yang sudah mengalami sakit parah, jalan hidup Zen juga menyediakan ketenangan batin. Orang bisa merasa sakit, namun tak menderita. Dengan jalan hidup Zen, orang bisa menemukan kedamaian di tengah rasa sakit dan masalah yang ia hadapi. Ini hanya mungkin, jika orang tidak menyamakan diri dengan masalah ataupun rasa sakit yang ia alami. Pendek kata, ia berjarak dari apa yang ia alami. Kematian pun tidak lagi menjadi sumber ketakutan.

Melampaui Ilmu Pengetahuan Modern
Pendekatan Zen juga melampaui ilmu pengetahuan modern. Filsafat dan ilmu pengetahuan modern masih melulu berpijak pada pikiran. Padahal, kerap kali, sumber masalahnya adalah pikiran itu sendiri. Ini seperti mencuci darah dengan darah. Ini adalah upaya yang sia-sia.

Ilmu pengetahuan modern juga kerap kali membuat pemisahan. Mereka lupa, bahwa pemisahan hanya di tataran teori. Di dalam kenyataan, semua hal terhubung secara harmonis, tanpa terpisahkan. Dengan cara berpikirnya yang sekarang, ilmu pengetahuan menciptakan ilusi keterpisahan. Buah dari ilusi keterpisahan ini adalah pengrusakan alam semata untuk memuaskan kerakusan manusia.

Titik tolak Zen adalah kesadaran akan kesatuan segala sesuatu. Ini membuat kita terbuka pada alam. Alam tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dari kita. Kita melihat alam sebagai bagian dari diri kita sendiri. Dengan kesadaran semacam ini, kita tidak akan merusak alam, hanya demi memuaskan kerakusan kita.

Untuk Kehidupan Modern
Kehidupan modern dipenuhi dengan kesibukan dan tuntutan yang besar. Banyak orang tak tahan dengan tekanan tersebut. Mereka lalu lari ke alkohol, seks, belanja atau narkoba. Semua itu bukanlah jalan keluar, karena justru akan menciptakan masalah lainnya yang lebih besar.

Zen amat cocok untuk menjadi jalan keluar dari masalah ini. Zen mengajak orang untuk kembali ke sebelum pikiran. Ia mengajarkan orang untuk berjarak dari semua pikiran yang menghasilkan stress, depresi dan beragam tekanan hidup lainnya. Zen tidak menciptakan ketergantungan apapun. Ia juga tidak mempunyai efek samping apapun, selain kejernihan dan kedamaian.

Ketika para profesional menekuni jalan Zen, mereka akan menemukan kejernihan dan kedamaian. Pekerjaan mereka juga akan semakin baik. Kinerja mereka meningkat. Tingkat stress juga menurun. Mereka bisa menemukan kebahagiaan dan kedamaian di tengah tantangan hidup yang tak kunjung berakhir.

Jalan hidup Zen juga mendorong perubahan sosial mendasar. Orang tidak lagi terjebak pada kerakusan pikirannya. Jika banyak orang mengalami perubahan batin, maka perubahan tata sosial pun tak bisa dihindarkan. Keadilan dan kemakmuran untuk semua perlahan akan tercipta, dan semua ini dilakukan tanpa menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun.

Kebahagiaan di Dalam
Zen mengajarkan orang untuk melihat ke dalam dirinya. Kebahagiaan dan kebenaran tidak bisa ditemukan di luar diri manusia. Semua itu ada di dalam dirinya. Agama juga mengajarkan, bahwa Tuhan ada di dalam hati manusia.

Ketika melihat ke dalam secara konsisten, orang secara perlahan akan menemukan kedamaian yang ia cari. Ia juga akan menemukan kejernihan. Ia tidak lagi tergantung secara emosional pada benda-benda di luar dirinya, guna mendapatkan kebahagiaan. Ia menyadari, siapa dia sebenarnya, dan itu menjadi sumber kekuatan sejati bagi hidupnya.

Jalan hidup Zen adalah sebuah laku hidup yang perlu dilatih. Orang kerap kali gagal, dan kembali masuk ke dalam penderitaan. Jangan khawatir. Kita hanya perlu kembali ke saat ini sepenuhnya. Jika dilakukan secara konsisten, jalan hidup Zen akan mengubah hidup kita secara mendasar. Kejernihan serta kebahagiaan akan mengisi sebagian besar hidup kita.
Jadi, tunggu apa lagi?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar