Selasa, 27 Desember 2016

Hukum Sejak Dini Bukan sekedar pasal dalam undang-undang, tetapi apa yang ada di balik itu.

Mahasiswa Harus Diajari Filsafat 
Cara belajar mengajar di kebanyakan fakultas hukum di Indonesia menuai kritikan. Ada yang menilai cara belajar masih berdimensi satu arah, ada juga yang menilai proses belajar yang terlalu legalistik. Kritikan ini terkuak dalam sebuah konferensi internasional tentang pendidikan hukum Asia Tenggara di Universitas Airlangga, Surabaya, pekan lalu.
Dosen Filsafat Hukum Universitas Binus, Sidarta mengatakan selama ini mahasiswa hukum hanya diajari teks atau isu undang-undang, bukan apa konteks undang-undang itu dibuat dan apa latar belakangnya.
Ia mencontohkan UU Penanaman Modal yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum. Mahasiswa hanya dituntut memahami apa isi dalam UU tersebut. “Mereka tak diajari kenapa undang-undang itu dibuat, cerita apa di balik kelahiran undang-undang tersebut. Itu yang nggak pernah diajar di kelas. Padahal, itu yang harus mereka tahu,” ujarnya.
Sidarta mengatakan proses belajar mengajar yang terlalu ‘legalistik’ yang akhirnya membuat para sarjana hukum hanya memakai “kaca mata kuda” ketika terjun ke masyarakat. Ia mengaku yakin bila pemahaman sejarah undang-undang dan filsafat hukum diajarkan sejak dini, maka wajah penegakan hukum Indonesia akan berbeda seperti sekarang ini. 
“Ketika hakim mengadili kasus KDRT atau Narkoba, dia tahu filosofi UU itu. Jadi, tak hanya pakai kacamata kuda. Karena ketika dia kuliah dulu, dosennya menyampaikan dan mengajarkan hal tersebut,” tambahnya.
Karenanya, menurut Sidarta, paradigma para dosen yang hanya mengajarkan pasal-pasal kepada para mahasiswa hukum harus mulai diubah. “Dia harus mengajarkan pesan-pesan yang ada di dalam pasal itu,” tuturnya.
Sidarta mengakui perubahan cara mengajar di fakultas hukum ini bukan hal yang gampang. Pasalnya, dosen yang berminat kepada filsafat hukum semakin hari semakin berkurang. Bahkan, ada anekdot bahwa pengajar filsafat hukum harus dosen yang sepuh. “Di kampus kita biasanya yang mengajar fisafat hukum itu seiring dengan usianya,” seloroh Sidarta. 
Bukan Fakultas Legislasi
Dalam makalahnya, Dosen Hukum Indonesia di Universitas Leiden, Adriaan Bedner berpendapat fakultas hukum di Indonesia harus benar-benar kembali menjadi ‘fakultas hukum’, bukan sebagai ‘fakultas legislasi’ yang hanya mempelajari pasal-pasal dalam undang-undang. Menurut dia, dosen hukum berperan besar dalam hal ini.
Adriaan menuturkan bahwa dosen hukum harus menjejali para mahasiswanya dengan bahan-bahan hukum yang kaya dengan “pertimbangan hukum’, daripada menawarkan analisa secara tekstual. Caranya, mahasiswa harus dibiasakan bagaimana menyelesaikan sebuah kasus.
“Mereka harus dibiasakan mendiskusikan kasus-kasus baik yang nyata maupun fiktif dan bagaimana menyelesaikannya secara hukum,” sebutnya.
Adriaan menjelaskan untuk melakukan ini maka dibutuhkan materi-materi hukum yang layak daripada hanya sekadar undang-undang yang sering digunakan. Ini mengharuskan para dosen untuk lebih sering melihat kasus-kasus hukum yang relevan terhadap subjek mata kuliah yang diajarkannya. Tugas terpenting para dosen hukum saat ini adalah mulai menginventarisir putusan-putusan MA yang sudah tersedia di website dan mulai membahas dan mengomentari putusan-putusan tersebut, sebelum akhirnya dibawa ke mahasiswa untuk didiskusikan.
Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Guru Besar HTN Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpesan agar para mahasiswa hukum harus menggali ilmu-ilmu hukum yang bertebaran di internet. Ia berpendapat suatu saat kehadiran dosen bisa tak diperlukan lagi bila mahasiswa sudah bisa memanfaatkan internet secara maksimal
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar