TENTANG TUHAN
Dalam
perjalanan sejarah umat manusia, tema yang sering dan acapkali menjadi obrolan
dan perbincangan adalah perbincangan tentang Tuhan dengan pelbagai pendekatan
dan metodologi. Di setiap masa dan tempat, semenjak kaum awam hingga kaum
cerdik pandai (baca: filosof), masyarakat dari berbagai strata -dengan ragam
ekspresi- bertutur ihwal Sang Pencipta. Perbincangan ini tidak pernah sepi
dan hening dari kehidupan manusia. Fitrah yang bersemayam dalam lubuk hati
manusia senantiasa terketuk dan berdenyut untuk membahas dan membincangkan
argumen (burhan) dalam membuktikan wujud dan eksistensi Tuhan. Pemikiran-pemikiran
beradu dan berpadu.
Para filosof
silih berganti muncul untuk mengubah pandangan manusia. Semua itu melukiskan
kembara tiada ujung ide manusia ihwal Tuhan. Terbentang dari filosof belahan
dunia Barat hingga Timur, berupaya menyuguhkan argumen paling rasional dalam
membuktikan wujud Tuhan. Dalam tulisan ini, yang akan dibagi menjadi dua
bagian, akan kita bahas gagasan dan tuturan yang disajikan oleh filosof-filosof
semisal Socrates, Plato, Aristoteles, Santo Thomas Aquinas, Santo Anselm,
Leibniz, Rene Descartes, Spinoza, Immanuel Kant yang merupakan filosof-filosof
unggul dunia Barat.
Socrates
Socrates (380-450 SM), filosof
Yunani, yang secara mendalam mempengaruhi filsafat Barat lewat pengaruhnya
terhadap Plato. Tuhan dalam pandangan Socrates -sebagaimana manusia-
memiliki kekuatan berpikir. Artinya bahwa dalam tatanan semesta juga terdapat
kekuatan sedemikian. Khususnya kita lihat bahwa alam semesta ini memiliki
tatanan dan sistemik, dan bukan tanpa tatanan dan non-sistemik. Socrates
menegaskan bahwa setiap perkara itu memiliki tujuan, dan dzat Tuhan adalah
tujuan keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu, alam semesta ini pastilah
tidak bersumber dari perkara aksidental dan sebuah benturan (big bang). Lantaran
alam semesta ini memiliki aturan, maka urusan mondial dan duniawi juga memiliki
aturan-aturan natural, dimana manusia harus menjalankan aturan-aturan tersebut.
Atas alasan ini, Socrates -dalam ranah politik- tidak berkeyakinan bahwa
politik itu harus keras dan koersif. Dengan kata lain, bahwa politik itu juga
bersandar pada hikmat dan kebijaksanaan. (Seir Hikmat dar Urupa, hal)
Plato
Plato
(428/427-348/347 SM) yang merupakan murid jenius Socrates
-sedemikian jeniusnya sehingga terkadang apabila Plato datang ke Academia Socrates,
sang guru berkata “Sang akal telah datang”- merupakan filosof kawakan
yang ajarannya banyak dijadikan sebagai landasan filosofis filosof-filosof
Barat. Para pengikutnya ini biasanya disebut sebagai Platonis. Ajaran
Plato tentang Tuhan kebanyakan disampaikan dalam terma-terma mistis, yang
menegaskan kebaikan Tuhan (sebagaimana dalam Republic dan Timaeus)
dan kebaikannya kepada manusia (sebagaimana dalam Phaedo); Tetapi dalam Phaedrus,
dan lebih jelasnya dalam Laws,
ia menghadirkan sebuah argumen yang lebih rigoris yang berdasarkan kenyataan
bahwa segala sesuatu itu berubah (change) dan bergerak (in motion). Segala yang
berubah itu tidak selamanya bersumber dari luar (eksternal), sebagian dari
perubahan tersebut bersifat spontan dan bersumber dari “jiwa”. Dan akhirnya
berujung pada sebuah jiwa yang suprim dan paripurna. (Britannica Encylopaedia,
2006)Dalam Timaeus, sebagaimana dinukil dalam kitab Faidh wa
Fâ’iiliyyat Wujudi Az Aflatun tâ Mulla Shadra, penciptaan alam semesta dan
pengerangka kosmos dinisbahkan kepada demiurege (shâne’, pencipta)
yang mewujudkan kosmos ini dari keadaan yang tak tertata dan non-sistemik,
menjadi sebuah kosmos yang tertata dan sistemik. Dalam perkara ini, mundus
imaginalis (alam ide) dapat dijadikan sebagai satu contoh dan setelah
mencipta alam ide, Tuhan mengadakan jiwa universal.
Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM), filosof
dan ilmuwan ternama Yunani. Dalam Metafisika-nya, Aristoteles
berargumentasi dalam menetapkan keberadaan satu wujud Ilahiah, yang dijelaskan
sebagai Prime Mover (penggerak agung), yang bertanggung jawab bagi
kesatuan dan kebertujuan alam semesta. Tuhan merupakan sosok paripurna.
Oleh karena itu, Dia merupakan aspirasi segala sesuatu di kosmos ini, lantaran
segala sesuatu berhasrat untuk berbagi kesempurnaan. Di alam kosmos ini
terdapat penggerak-penggerak yang lain – penggerak-penggerak cerdas dari
planet-planet dan bintang-bintang (Aristoteles menyangka bahwa jumlah dari
penggerak cerdas ini adalah “55 atau 47”). Kendati Penggerak Agung (The Prime
Mover), atau Tuhan, yang dijelaskan oleh Aristoteles tidak cukup sesuai dengan
tujuan-tujuan religius. Betapapun, Aristoteles membatasi “teologinya” pada apa
yang ia percayai sesuai dengan tuntutan ilmiah dan dapat dibuktikan secara
ilmiah.
St. Anselm
Santo Anselm (1033-1109),
teolog, filosof, dan pemimpin gereja, mengajukan sebuah argumen untuk
menetapkan keberadaan Tuhan yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Santo
Anselm menyusun Monologium (Soliloquy, 1077) yang di dalamnya
merefleksikan pengaruh Santo Augustine yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan
wujud tertinggi dan mengurai sifat-sifat Tuhan. Pada tahun 1078, ia melanjutkan
proyeknya mencari pemahaman tentang iman. Dia menyelesaikan Proslogium (Discourse),
yang pasal keduanya menghadirkan the original statement yang
menjadi popular sebagai ontological argument pada abad ke-18. Santo
Anselm berargumen bahwa bahkan mereka yang meragukan eksistensi Tuhan akan
memiliki pengertian atas apa yang mereka ragukan: yaitu mereka akan memahami
bahwa Tuhan adalah satu wujud yang tidak ada wujud yang lebih besar dari-Nya. Anselm
berkata bahwa seluruh eksistensi, kurang-lebihnya senantiasa akan berhadapan
dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang menggambarkan adanya sebuah
realitas dimana tidak ada lagi realitas lebih sempurna darinya yang mampu
digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis. Jika realitas yang
didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus riil. Karena apabila
Tuhan hanya merupakan gambaran dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti
masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu
eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh
karena itu dan berdasarkan perhitungan logika, maka mau tidak mau harus
diterima bahwa realitas dan eksistensi yang kesempurnaannya mutlak
betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”. (Mabani wa Tarikh-e
Falsafeh-ye Gharbi, hal. 125) Anselm sepakat bahwa setiap orang yang
memahami apa maksud lafadz-lafadz Tuhan atau maujud transendental, maka dia
akan menemukan bahwa eksistensi semacam ini harus riil dan ada. Tuhan adalah
sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya
yang bisa digambarkan. Dan karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa
menggambarkannya. Lebih dari itu aku bisa menggambarkan Tuhan sehingga tidak
saja dia merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai
sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan
pikiranku.Setelah diketahui bahwa keberwujudan sebagai sebuah persepsi dan juga
sebagai sebuah realitas lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai sebuah
konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti Tuhan harus riil dalam
hakikat dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan
adalah sebuah realitas wujud dimana realitas lain yang lebih besar darinya
tidak bisa lagi digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam realitas.
Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari Tuhan masih bisa digambarkan
(yaitu sebuah eksistensi yang selain mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga
mempunyai keberadaaan yang riil. Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan
tersebut atau melalui wujud yang superior dan sempurna”. (Kulliyat-e Falsafeh,
hal. 238)
René Descartes
René
Descartes (1596-1650) adalah filosof berkebangsaan Prancis. Di
samping ia dikenal sebagai filosof, ia juga adalah ilmuan dan matematikawan dan
terkadang ia disebut sebagai bapak filsafat modern. Langkah awal yang
digunakan oleh Descartes untuk mencapai keyakinan adalah kita harus melihat
apakah kita dapat ragu pada segala hal atau tidak. Ragu terhadap memori
ingatan, pada penentuan indera dan persepsi, terhadap eksistensi dunia dan
terhadap wujud ragawi orang tersebut. Seperti yang disebutkan dalam “Discourse
on Methods”, Descartes mengatakan bahwa postulat “Aku berfikir, karena itu Aku
ada” adalah sedemikian kukuh dan niscaya, sehingga kaum Skeptis tidak lagi
dapat menggoyahkannya. Postulat “Aku berpikir atau Aku ragu”, yakni apabila
seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan
keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu,
maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa
diragukan. Kebenaran tentang aku yang meragukan ini bagi Descartes merupakan kepastian.
Karena aku mengerti hal itu dengan ‘jelas dan khas’ (clear and distinc). Aku
ada, aku eksis; pernyataan ini merupakan sebuah keyakinan. Oleh karena itu, aku
ada sejatinya menunjuk kepada satu maujud yang berpikir. Argumen Descartes
dalam membuktikan wujud Tuhan ada dua. Pertama, dengan menerima pandangan di
atas yang bersandar pada metode skeptiknya. Dia menganggap dirinya sebagai
maujud yang tidak sempurna. Dengan demikian ia menerima bahwa wujud Tuhan
merupakan wujud yang sempurna. Descartes berpandangan bahwa memikirkan satu
wujud yang sempurna, hanya dapat bersumber dari satu wujud yang sempurna; thus Tuhan
sebagai sumber wujud tersebut haruslah wujud. Argumen yang merupakan argumen
kosmologikal ini secara asasi bersandar pada prinsip filsafat Skolastik yang
berdiri di atas ukuran realitas tersebut yang terdapat pada sebab juga terdapat
pada akibatnya. Artinya apabila satu pikiran sempurna, dalam keadaan ini
sebabnya juga akan sempurna. (Fifty Major Philosophers: A reference guide, hal.
136) Argumen kedua, popular sebagai argumen ontologis yang juga berkaitan
dengan prinsip filsafat Skolastik. Dalam pandangan dunia Descartes, Tuhan
adalah dzat nir-batas dan abadi serta tidak berubah dan mandiri, mahatahu dan
omnipotency, dimana aku dan segala sesuatu yang lain yang maujud adalah akibat
dan makhluk-Nya. Argumen ontologi Descartes dituangkan dengan uraian yang
lebih jelas, sebagai berikut:“Dengan melalui analisa yang sederhana kita
ketahui bahwa segitiga secara niscaya mempunyai tiga sudut dan tiga siku. Maka
gambarkanlah Tuhan dalam diri kalian dengan cara yang demikian pula. Dzat Tuhan
kita definisikan sebagai kesempurnaan mutlak.Pada hakikatnya kesempurnaan
mutlak adalah sebuah majemuk dari seluruh kesempurnaan yang bisa digambarkan.
Tetapi wujud merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu kesempurnaan mutlak
apabila tidak mempunyai wujud, berarti bukan mutlak. Dan konklusinya: wujud mempunyai
keterkaitan dengan kesempurnaan sebagaimana mestinya segitiga yang
mempunyai keterkaitan dengan tiga sudut dan tiga sikunya”. (Andrew Crisson, Falâsife-ye
Buzurgh, jil. 2, hal. 28)
Immanuel Kant
Immanuel
Kant (1724-1804) adalah salah seorang filosof besar Barat. Kant memberikan
empat batasan metodelogi untuk membuktikan wujud Tuhan. Kendati ia mengajukan
kritik terhadap argumen-argumen yang mengitsbat eksistensi Tuhan dalam ranah theoretical
reason (akal teoritis), namun sepenuhnya percaya pada argumen-argumen
moral (practical reason) dalam membuktikan wujud Tuhan.
Kant dalam
domain akal teoritis membagi argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan
menjadi tiga bagian:
1. Argumen
natural – teologikal atau teleologikal: Dalam argumen ini bertitik-tolak pada
eksperimentasi tipikal dan tertentu dari fitrah khusus alam kendriya (inderawi)
dan sesuai dengan hukum kausalitas dalam membuktikan wujud Tuhan. Atau dengan
ungkapan lain, Tuhan dapat dipahami dan diketahui melalui sistemik dan
tertatanya alam semesta bahwa Dia adalah Sebab Pertama.
2. Argumen
kosmologikal: dalam argumen ini melalui pengalaman-pengalaman yang tidak
tipikal dan khusus yaitu huduts (baru) dan imkan (kontingen)
alam semesta atau segala sesuatu yang ada di alam semesta, setidaknya
keberadan seseorang dan kemudian dapat diketahui keberadaan wajib al-wujud
3. Argumen
ontologikal: Dalam argumen ini wujud Tuhan dapat dibuktikan dengan menganalisa
pahaman kesempurnaan mutlak. Argumen yang diintrodusir oleh Kant
merupakan argumen yang dapat menuai hasil dalam membuktikan wujud Tuhan.
Dalam argumen moral ini, melalui pahaman “harus” moral “eksis” dan “ada” wujud
Tuhan dapat dibuktikan. [bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar