Kita hidup di dunia yang penuh tantangan. Di satu sisi,
berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, perang dan kesenjangan sosial di
berbagai negara, tetap ada, dan bahkan menyebar. Di sisi lain, krisis
lingkungan hidup memicu berbagai bencana alam di berbagai tempat. Kita
membutuhkan cara berpikir serta metode yang tepat, guna menghadapi dua
tantangan tersebut.
Ilmu pengetahuan mencoba melakukan berbagai penelitian untuk
memahami akar masalah, dan menawarkan jalan keluar. Beragam kajian dibuat.
Beragam teori dirumuskan. Akan tetapi, seringkali semua itu hanya menjadi
tumpukan kertas belaka yang tidak membawa perubahan nyata.
Bahkan, kini penelitian sedang dilakukan untuk memahami
beragam penelitian yang ada. Jadi, “penelitian atas penelitian”. Dilihat dari
kaca mata ilmu pengetahuan, kegiatan ini memang perlu dan menarik. Namun,
dilihat dari sudut akal sehat sederhana, ini merupakan tanda, bahwa telah ada
begitu banyak kajian dan teori yang lahir dari penelitian dengan nilai milyaran
dollar, sementara hasilnya masih dipertanyakan.
Banjir Teori
Kondisi ini saya sebut sebagai “banjir teori” dan “banjir
kajian”. Kajian dibuat demi kajian itu sendiri. Teori dirumuskan demi teori itu
sendiri. Ini merupakan kesalahan berpikir mendasar di dalam dunia akademik
sekarang ini.
Kondisi juga menciptakan kebingungan, baik di antara para
ilmuwan sendiri, maupun masyarakat luas. Di dalam kebingungan semacam ini,
beragam masalah tetap ada. Bahkan, dalam beberapa kasus, masalah-masalah yang
ada justru membesar dan menyebar. Uang milyaran dollar pun lenyap begitu saja
untuk penelitian-penelitian yang absurd.
Kajian banyak terjadi di level teori. Perdebatan juga
terjadi di level teori. Namun, ini jelas tidak cukup. Umat manusia membutuhkan
cara berpikir yang baru, guna menghadapi berbagai tantangan dunia.
Hakekat Teori
Teori adalah rangkaian kata-kata ataupun simbol untuk
menjelaskan suatu keadaan atau fenomena di dalam dunia. Teori juga merupakan
bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia. Dalam arti
ini, dapat dengan lugas dikatakan, bahwa teori itu bukanlah kenyataan,
melainkan abstraksi yang sekaligus juga berarti penyempitan (reduksi) dari
kenyataan itu sendiri. Berteori berarti mencabut unsur-unsur di dalam kenyataan
yang dianggap penting, dan berarti mengabaikan atau bahkan membuang hal-hal
yang dianggap tidak penting.
Perdebatan pun lalu banyak terjadi di level teoritis. Para
ilmuwan sibuk dengan konsep, kata dan simbol. Mereka kerap lupa, bahwa apa yang
mereka bicarakan dan teliti itu adalah kehidupan manusia dengan segala
kekayaannya. Mereka lalu membangun teori di atas teori, dan begitu terus,
sampai tidak lagi memiliki akar di dalam kenyataan.
Jadi, teori tidak membantu manusia untuk memahami kenyataan.
Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni teori justru mengaburkan
pengetahuan manusia atas kenyataan. Kita tidak lagi dapat memahami realitas
sebagaimana adanya, melainkan hanya realitas sebagaimana kita teorikan di dalam
kepala dan penelitian kita. Dan karena begitu banyak teori, maka ada begitu
banyak “realitas”, dan akhirnya menciptakan kebingungan yang besar.
Dunia akademik menciptakan semacam dunia baru, yakni dunia
imajinasi. Dunia imajinasi ini berisi kata, simbol dan teori. Di dalamnya
terkandung, harapan dan ketakutan yang ditutupi dengan selubung rumusan,
formula, ataupun teori. Semua ini membuat orang tak lagi mampu memahami
realitas apa adanya.
Melampaui Teori
Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di
dalam kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya. Jika
kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan tersesat. Kita
tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi yang muncul di kepala
kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak dapat menanggapi dengan tepat
beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa
adanya. Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya.
Kata “melampaui” bisa juga diganti dengan kata “sebelum” teori, yakni dunia apa
adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya. Para filsuf fenomenologi
Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger, menyebutnya sebagai dunia
kehidupan (Lebenswelt), yakni dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para
pemikir filsafat Timur, seperti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai
dunia-tanpa-pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita
harus melepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita
dari kebiasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap (wahrnehmen)
kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan sekaligus melampaui konsep
serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen)
kenyataan, melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara
realitas ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil apa
adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum pemikiran, dan
kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti ini, tidak ada lagi
perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita
pun mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara hidup kita
berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung, karena kepalanya dipenuhi
konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan berlebihan yang
membuat orang tak jernih memandang realitas. Keputusan-keputusan yang ia ambil
pun lalu mencerminkan kebingungan di dalam hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat
teori dan konsep lenyap seketika. Segalanya menjadi jelas dan jernih. Orang
tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi melulu pertimbangan
rasional dan logis, melainkan “intuisi”, yakni pengalaman langsung dengan
kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan
bertindak tidak lagi diperlukan. Berbuat baik adalah sesuatu yang alamiah,
ketika orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti
mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak dipenuhi oleh
“perang teori” dan “perang konsep” di dalam kepalanya soal baik buruk- benar
salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, guna menghadapi segala yang ada
sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna
menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi terjebak dengan
teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam kebingungan dan
ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus menerus, sehingga ia
sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan kita, dan bukan sekedar sensasi
sesaat belaka.
Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, ketika kita
melepaskan ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan
perdamaian “versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada “konsep perdamaian” atau
“teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. Ketika kita bisa mencerap
kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa mengalami perdamaian sejati
di dalam batin, maupun dengan orang sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar