Selasa, 27 Desember 2016

ILMU PENGETAHUAN DAN TANTANGAN GLOBAL

Kita hidup di dunia yang penuh tantangan. Di satu sisi, berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, perang dan kesenjangan sosial di berbagai negara, tetap ada, dan bahkan menyebar. Di sisi lain, krisis lingkungan hidup memicu berbagai bencana alam di berbagai tempat. Kita membutuhkan cara berpikir serta metode yang tepat, guna menghadapi dua tantangan tersebut.
Ilmu pengetahuan mencoba melakukan berbagai penelitian untuk memahami akar masalah, dan menawarkan jalan keluar. Beragam kajian dibuat. Beragam teori dirumuskan. Akan tetapi, seringkali semua itu hanya menjadi tumpukan kertas belaka yang tidak membawa perubahan nyata.
Bahkan, kini penelitian sedang dilakukan untuk memahami beragam penelitian yang ada. Jadi, “penelitian atas penelitian”. Dilihat dari kaca mata ilmu pengetahuan, kegiatan ini memang perlu dan menarik. Namun, dilihat dari sudut akal sehat sederhana, ini merupakan tanda, bahwa telah ada begitu banyak kajian dan teori yang lahir dari penelitian dengan nilai milyaran dollar, sementara hasilnya masih dipertanyakan.
Banjir Teori
Kondisi ini saya sebut sebagai “banjir teori” dan “banjir kajian”. Kajian dibuat demi kajian itu sendiri. Teori dirumuskan demi teori itu sendiri. Ini merupakan kesalahan berpikir mendasar di dalam dunia akademik sekarang ini.
Kondisi juga menciptakan kebingungan, baik di antara para ilmuwan sendiri, maupun masyarakat luas. Di dalam kebingungan semacam ini, beragam masalah tetap ada. Bahkan, dalam beberapa kasus, masalah-masalah yang ada justru membesar dan menyebar. Uang milyaran dollar pun lenyap begitu saja untuk penelitian-penelitian yang absurd.
Kajian banyak terjadi di level teori. Perdebatan juga terjadi di level teori. Namun, ini jelas tidak cukup. Umat manusia membutuhkan cara berpikir yang baru, guna menghadapi berbagai tantangan dunia.
Hakekat Teori
Teori adalah rangkaian kata-kata ataupun simbol untuk menjelaskan suatu keadaan atau fenomena di dalam dunia. Teori juga merupakan bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia. Dalam arti ini, dapat dengan lugas dikatakan, bahwa teori itu bukanlah kenyataan, melainkan abstraksi yang sekaligus juga berarti penyempitan (reduksi) dari kenyataan itu sendiri. Berteori berarti mencabut unsur-unsur di dalam kenyataan yang dianggap penting, dan berarti mengabaikan atau bahkan membuang hal-hal yang dianggap tidak penting.
Perdebatan pun lalu banyak terjadi di level teoritis. Para ilmuwan sibuk dengan konsep, kata dan simbol. Mereka kerap lupa, bahwa apa yang mereka bicarakan dan teliti itu adalah kehidupan manusia dengan segala kekayaannya. Mereka lalu membangun teori di atas teori, dan begitu terus, sampai tidak lagi memiliki akar di dalam kenyataan.
Jadi, teori tidak membantu manusia untuk memahami kenyataan. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni teori justru mengaburkan pengetahuan manusia atas kenyataan. Kita tidak lagi dapat memahami realitas sebagaimana adanya, melainkan hanya realitas sebagaimana kita teorikan di dalam kepala dan penelitian kita. Dan karena begitu banyak teori, maka ada begitu banyak “realitas”, dan akhirnya menciptakan kebingungan yang besar.
Dunia akademik menciptakan semacam dunia baru, yakni dunia imajinasi. Dunia imajinasi ini berisi kata, simbol dan teori. Di dalamnya terkandung, harapan dan ketakutan yang ditutupi dengan selubung rumusan, formula, ataupun teori. Semua ini membuat orang tak lagi mampu memahami realitas apa adanya.
Melampaui Teori
Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di dalam kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya. Jika kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa adanya. Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya. Kata “melampaui” bisa juga diganti dengan kata “sebelum” teori, yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya. Para filsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir filsafat Timur, seperti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa-pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita harus melepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita dari kebiasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap (wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan sekaligus melampaui konsep serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen) kenyataan, melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara realitas ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita pun mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung, karena kepalanya dipenuhi konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas. Keputusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan di dalam hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat teori dan konsep lenyap seketika. Segalanya menjadi jelas dan jernih. Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan “intuisi”, yakni pengalaman langsung dengan kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan bertindak tidak lagi diperlukan. Berbuat baik adalah sesuatu yang alamiah, ketika orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak dipenuhi oleh “perang teori” dan “perang konsep” di dalam kepalanya soal baik buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, guna menghadapi segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan kita, dan bukan sekedar sensasi sesaat belaka.
Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, ketika kita melepaskan ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan perdamaian “versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada “konsep perdamaian” atau “teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. Ketika kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang sekitar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar