Senin, 26 Desember 2016

AKU BERPIKIR MAKA AKU ADA

"COGITO ERGO SUM" (Aku berpikir, maka aku ada)"

Ungkapan kata-kata di atas ini dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf beraliran Rasionalis dan pelopor filsafat pembaharuan abad ke-17. Dia telah  menyangsikan segala wujud sesuatu, tetapi dalam keserbasangsian itu ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa aku bersangsi, dan bersangsi berarti berpikir, karena berpikir maka aku ada. Itulah yang menjadi landasan dasar filsafatnya. Penulis, sebagai bagian dari komunitas yang sejak kecil diberi asupan pelajaran-pelajaran agama, tentunya tidak bisa menerima begitu saja landasan filosofis yang digunakan Cartesius (nama Latin Descartes) ini. Bagaimana tidak? Dia terlalu mengagung-agungkan fungsi akal dengan meyakini bahwa yang ada pada kita hanyalah akal budi manusia saja, agama dan keyakinan dianggapnya 'kolot' atau 'ketinggalan zaman', paling banter hanya 'perasaan' saja. Golongan filosof seperti ini masuk dalam kategori orang-orang yang menyembah-nyembah akal dan dicap sesat oleh ulama-ulama Islam.

Terlebih lagi, sebagian komunitas pelajar ilmu-ilmu Islam (baca: santri) ada yang alergi dengan kata filsafat begitu kata ini disebut. Seolah-olah filsafat itu adalah 'ilmu hitam' sama sejajar dengan ilmu sihir yang hanya mendatangkan kerusakan dan kesesatan. Padahal mereka tidak pernah mengetahui substansi dari filsafat itu sendiri secara utuh. Mereka hanya tahu dari kitab-kitab yang mereka pelajari bahwa filsafat itu sesat karena tiga hal, salah satunya yaitu meyakini akan qidam-nya alam semesta. Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena langkah yang diambil para ulama kita dalam mengharamkan mempelajari filsafat sekuler adalah berdasarkan tindakan antisipatif. Selain itu, kebanyakan aliran dalam filsafat terlalu mengagung-agungkan peran akal dan fungsinya, seperti Descartes dan Benedict De Spinoza. Filsafat dipandang sebagai sumber segala kebenaran yang mengharapkan darinya kebahagiaan tulen dan jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan hidup. Sebaliknya, ada pula yang menganggap filsafat tidak lain hanya 'obrolan belaka', 'omong kosong', dan 'hasil lamunan' yang sama sekali tidak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari. Kita sejak kecil selalu diajarkan agar bersikap tengah-tengah, tidak terjerumus pada ekstrimisme dan fanatisme buta, juga bukan seorang liberalis yang bebas tak beraturan. Kita harus bersikap tengah-tengah, objektif, dan adil dalam menilai segala sesuatunya, termasuk dalam memandang filsafat. Selain itu, filsafat jika kita telusuri akar katanya, maka akan ditemukan bahwa kata itu berasal dari phylo dan sophos yang artinya cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Atau dalam bahasa yang lebih akrab di telinga kita kebijaksanaan sering diartikan dengan hikmah. Ya, hikmah atau apapun itu asal berupa kebenaran hakiki, kita dianjurkan untuk 'memungutnya' dari manapun ia berasal. Khudzil hikmah walau min ayyi famin kharajat. Begitu kata pepatah Arab.

Para ahli pemikir, meskipun terdapat perbedaan paham tentang definisi atau batasan filsafat itu, namun dalam perbedaan itu terdapat kesamaan, yaitu: a) bahwa filsafat adalah suatu bentuk 'mengerti', b) semua mengakui bahwa filsafat termasuk ilmu pengetahuan, c) dan ilmu pengetahuan ini mampu mengatasi lain-lain ilmu, dalam arti lebih mendalam, lebih umum/universal, lebih sesuai dengan kodrat manusia. Manusia pada kodratnya memang selalu ingin mengerti. Mereka berpikir, merenungi, memahami, menelaah, menganalisa dan segala bentuk berpikir lainnya, untuk menuju pada 'mengerti'. Dengan segala keterbatasannya, manusia mencoba memahami mengapa mereka ada? Untuk apa ada? Haruskah dia ada? Apa di balik sesuatu yang kita lihat? Belum lagi jika mereka menyelami diri mereka sendiri, maka akan menemukan bertumpuk-tumpuk pertanyaan mengenai jati diri manusia, memecahkan soal-soal tentang 'ada', tentang dunia dan manusia, tentang hidup dan kehidupan dengan berbagai problemnya. Usaha-usaha mencari jawaban, atau setidaknya sesuatu yang dapat meredam gejolak dalam diri mereka, itulah yang dinamakan berfilsafat. Perbedaan antara orang yang berfilsafat dan orang yang tidak berfilsafat boleh dikatakan terletak dalam sikap mereka terhadap hidup manusia. 'Hidup' di sini meliputi segala sesuatu yang dialami dan dirasakan manusia dalam dirinya sekaligus dirasakan dan dialami pula oleh orang lain. Prof. S. Takdir Alisyahbana menuliskan dalam bukunya "Pembimbing ke filsafat" sebagai berikut: "Bagi manusia, berfilsafat itu berarti mengatur hidupnya seinsyaf-insyafnya, dan sesentral-sentralnya dengan perasaan bertanggung jawab. Bukan bertanggung jawab terhadap si A atau B, tetapi kepada pokok dan dasar hidup yang sedalam-dalamnya."

Tapi, filsafat juga tidak hanya melulu teori yang muluk-muluk saja, melainkan ada sudut praktisnya juga. Karena semua upaya dan usaha manusia memikirkan kenyataan sedalam-dalamnya itu pasti berpengaruh atas kehidupannya, hingga dengan sendirinya bagian filsafat yang teoretis akan bermuara pada kehendak dan perbuatan praktis. Kita tentu tidak hanya ingin mengerti saja, kita ingin mengerti untuk dapat berbuat menurut pengetahuan yang kita peroleh itu.

Selain dalam bentuk merenung dan meresapi, aktivitas berpikir juga dapat berupa ijtihad, dengan segala tingkatannya, sebuah upaya menggali dan memahami makna yang tersembunyi dari teks sehingga membuahkan sebuah keputusan hukum yang bersifat estimatis (dhonny). Tentunya semua kegiatan dan aktivitas otak itu harus berada pada koridornya yang lurus, sesuai dengan metode berpikir  (manhaj) dan dasar yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhamad. Karena bagaimana pun juga, akal manusia mempunyai keterbatasan dalam daya nalar, di samping juga mempunyai kelemahan yang bersifat manusiawi, yaitu hawa nafsu dan ego yang kadang bisa mendorong dan merubah keputusan-keputusan yang sudah final. Kenyataan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan harus kita terima, kita sikapi dengan rendah hati. Salah satu penyebab terjadinya kekacauan dalam alam berpikir kita adalah dikarenakan kita terlalu mengandalkan rasio kita, mengalahkan kebenaran sejati yang datang lewat jalan yang berada di luar jangkauan akal kita. Itulah mengapa para filsuf sampai mengatakan bahwa alam ini tidak mempunyai permulaan (qidam). Proses berpikir mereka telah terjangkiti rasa sombong, perasaan bahwa segala permasalahan yang mereka hadapi dapat teratasi dengan penalaran akal pikiran mereka semata. Padahal, salah satu tujuan umum dari filsafat adalah menyembuhkan kita dari kepicikan, dari "aku-isme" dan "aku sentrisme", artinya sifat memusatkan segala sesuatu kepada si "aku", mencari jalan segala-galanya hanya untuk kepentingan dan kesenangan si-aku saja. Jika jalan pikiran mereka masih tercemari oleh sifat sombong, merasa "aku", maka hal itu sama saja mencederai salah satu asas dalam filsafat, yang selama ini mereka agung-agungkan. Penyakit "aku" telah menjadi sumber bagi berbagai malapetaka di dunia ini. Dunia menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh sifat "aku" ini. Timbul dari "aku". Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke aku-an semata.

Ungkapan kata-kata di atas ini dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf beraliran Rasionalis dan pelopor filsafat pembaharuan abad ke-17. Dia telah  menyangsikan segala wujud sesuatu, tetapi dalam keserbasangsian itu ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa aku bersangsi, dan bersangsi berarti berpikir, karena berpikir maka aku ada. Itulah yang menjadi landasan dasar filsafatnya. Penulis, sebagai bagian dari komunitas yang sejak kecil diberi asupan pelajaran-pelajaran agama, tentunya tidak bisa menerima begitu saja landasan filosofis yang digunakan Cartesius (nama Latin Descartes) ini. Bagaimana tidak? Dia terlalu mengagung-agungkan fungsi akal dengan meyakini bahwa yang ada pada kita hanyalah akal budi manusia saja, agama dan keyakinan dianggapnya 'kolot' atau 'ketinggalan zaman', paling banter hanya 'perasaan' saja. Golongan filosof seperti ini masuk dalam kategori orang-orang yang menyembah-nyembah akal dan dicap sesat oleh ulama-ulama Islam.

Terlebih lagi, sebagian komunitas pelajar ilmu-ilmu Islam (baca: santri) ada yang alergi dengan kata filsafat begitu kata ini disebut. Seolah-olah filsafat itu adalah 'ilmu hitam' sama sejajar dengan ilmu sihir yang hanya mendatangkan kerusakan dan kesesatan. Padahal mereka tidak pernah mengetahui substansi dari filsafat itu sendiri secara utuh. Mereka hanya tahu dari kitab-kitab yang mereka pelajari bahwa filsafat itu sesat karena tiga hal, salah satunya yaitu meyakini akan qidam-nya alam semesta. Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena langkah yang diambil para ulama kita dalam mengharamkan mempelajari filsafat sekuler adalah berdasarkan tindakan antisipatif. Selain itu, kebanyakan aliran dalam filsafat terlalu mengagung-agungkan peran akal dan fungsinya, seperti Descartes dan Benedict De Spinoza. Filsafat dipandang sebagai sumber segala kebenaran yang mengharapkan darinya kebahagiaan tulen dan jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan hidup. Sebaliknya, ada pula yang menganggap filsafat tidak lain hanya 'obrolan belaka', 'omong kosong', dan 'hasil lamunan' yang sama sekali tidak ada artinya bagi kehidupan sehari-hari. Kita sejak kecil selalu diajarkan agar bersikap tengah-tengah, tidak terjerumus pada ekstrimisme dan fanatisme buta, juga bukan seorang liberalis yang bebas tak beraturan. Kita harus bersikap tengah-tengah, objektif, dan adil dalam menilai segala sesuatunya, termasuk dalam memandang filsafat. Selain itu, filsafat jika kita telusuri akar katanya, maka akan ditemukan bahwa kata itu berasal dari phylo dan sophos yang artinya cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Atau dalam bahasa yang lebih akrab di telinga kita kebijaksanaan sering diartikan dengan hikmah. Ya, hikmah atau apapun itu asal berupa kebenaran hakiki, kita dianjurkan untuk 'memungutnya' dari manapun ia berasal. Khudzil hikmah walau min ayyi famin kharajat. Begitu kata pepatah Arab.

Para ahli pemikir, meskipun terdapat perbedaan paham tentang definisi atau batasan filsafat itu, namun dalam perbedaan itu terdapat kesamaan, yaitu: a) bahwa filsafat adalah suatu bentuk 'mengerti', b) semua mengakui bahwa filsafat termasuk ilmu pengetahuan, c) dan ilmu pengetahuan ini mampu mengatasi lain-lain ilmu, dalam arti lebih mendalam, lebih umum/universal, lebih sesuai dengan kodrat manusia. Manusia pada kodratnya memang selalu ingin mengerti. Mereka berpikir, merenungi, memahami, menelaah, menganalisa dan segala bentuk berpikir lainnya, untuk menuju pada 'mengerti'. Dengan segala keterbatasannya, manusia mencoba memahami mengapa mereka ada? Untuk apa ada? Haruskah dia ada? Apa di balik sesuatu yang kita lihat? Belum lagi jika mereka menyelami diri mereka sendiri, maka akan menemukan bertumpuk-tumpuk pertanyaan mengenai jati diri manusia, memecahkan soal-soal tentang 'ada', tentang dunia dan manusia, tentang hidup dan kehidupan dengan berbagai problemnya. Usaha-usaha mencari jawaban, atau setidaknya sesuatu yang dapat meredam gejolak dalam diri mereka, itulah yang dinamakan berfilsafat. Perbedaan antara orang yang berfilsafat dan orang yang tidak berfilsafat boleh dikatakan terletak dalam sikap mereka terhadap hidup manusia. 'Hidup' di sini meliputi segala sesuatu yang dialami dan dirasakan manusia dalam dirinya sekaligus dirasakan dan dialami pula oleh orang lain. Prof. S. Takdir Alisyahbana menuliskan dalam bukunya "Pembimbing ke filsafat" sebagai berikut: "Bagi manusia, berfilsafat itu berarti mengatur hidupnya seinsyaf-insyafnya, dan sesentral-sentralnya dengan perasaan bertanggung jawab. Bukan bertanggung jawab terhadap si A atau B, tetapi kepada pokok dan dasar hidup yang sedalam-dalamnya."

Tapi, filsafat juga tidak hanya melulu teori yang muluk-muluk saja, melainkan ada sudut praktisnya juga. Karena semua upaya dan usaha manusia memikirkan kenyataan sedalam-dalamnya itu pasti berpengaruh atas kehidupannya, hingga dengan sendirinya bagian filsafat yang teoretis akan bermuara pada kehendak dan perbuatan praktis. Kita tentu tidak hanya ingin mengerti saja, kita ingin mengerti untuk dapat berbuat menurut pengetahuan yang kita peroleh itu.

Selain dalam bentuk merenung dan meresapi, aktivitas berpikir juga dapat berupa ijtihad, dengan segala tingkatannya, sebuah upaya menggali dan memahami makna yang tersembunyi dari teks sehingga membuahkan sebuah keputusan hukum yang bersifat estimatis (dhonny). Tentunya semua kegiatan dan aktivitas otak itu harus berada pada koridornya yang lurus, sesuai dengan metode berpikir  (manhaj) dan dasar yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhamad. Karena bagaimana pun juga, akal manusia mempunyai keterbatasan dalam daya nalar, di samping juga mempunyai kelemahan yang bersifat manusiawi, yaitu hawa nafsu dan ego yang kadang bisa mendorong dan merubah keputusan-keputusan yang sudah final. Kenyataan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan harus kita terima, kita sikapi dengan rendah hati. Salah satu penyebab terjadinya kekacauan dalam alam berpikir kita adalah dikarenakan kita terlalu mengandalkan rasio kita, mengalahkan kebenaran sejati yang datang lewat jalan yang berada di luar jangkauan akal kita. Itulah mengapa para filsuf sampai mengatakan bahwa alam ini tidak mempunyai permulaan (qidam). Proses berpikir mereka telah terjangkiti rasa sombong, perasaan bahwa segala permasalahan yang mereka hadapi dapat teratasi dengan penalaran akal pikiran mereka semata. Padahal, salah satu tujuan umum dari filsafat adalah menyembuhkan kita dari kepicikan, dari "aku-isme" dan "aku sentrisme", artinya sifat memusatkan segala sesuatu kepada si "aku", mencari jalan segala-galanya hanya untuk kepentingan dan kesenangan si-aku saja. Jika jalan pikiran mereka masih tercemari oleh sifat sombong, merasa "aku", maka hal itu sama saja mencederai salah satu asas dalam filsafat, yang selama ini mereka agung-agungkan. Penyakit "aku" telah menjadi sumber bagi berbagai malapetaka di dunia ini. Dunia menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh sifat "aku" ini. Timbul dari "aku". Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke aku-an semata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar