Selasa, 27 Desember 2016

Sumpah Mahasiswa: Filosofi atau Retorika Belaka

Sumpah Mahasiswa: Filosofi atau Retorika Belaka


Kami Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah :
1. Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
2. Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
3. Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Pertama kali mendengar sumpah ini jujur benar-benar bangga dan memiliki apresisi tinggi terhadap mahasiswa-mahasiswi pencetusnya. Diucapkan dengan nada-nada perjuangan, semangat untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik, suara-suara yang bergema memenuhi. Setelah molihat video demonstrasi mahasiswa tahun 1998 dan video serta berita-berita ketidakadilan negara dan berbagai penindasan terhadap masyarakat arus bawah.
Berbagai tindakan dan perilaku para mahasiswa seolah tak menunjukkan eksistensi dan loyalitas mereka terhadap sumpah tersebut.
Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Kejadian kekerasan di berbagai kampus, baik dalam lingkup militer,sipil, maupun umum tentu sudah jelas mengoyak-oyak sumpah pertama yang setiap mahasiswa pernah ucapkan tersebut. Berbagai hal, baik secara fisik maupun psikis sering mereka lakukan dengan dalil “ketegasan” dan “kedisiplinan”.
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
Ketika saya berbicara tentang keadilan, maka perspektif yang saya gunakan adalah perspektif menyeluruh, baik dilihat dari mahasiswa, pemerintah, dan masyarakat luas pada umumnya. Bila kita lihat demonstrasi akhir-akhir ini, maka kita akan dengan mudah melihat bagaimana hampir setiap aksi mahasiswa selalu diwarnai dengan kekerasan. Ketika mereka berdalih bahwa mereka memboikot jalan ataupun membakar ban untuk menyampaikan aksinya, tanyakan juga pada mereka, “Apakah kalian tidak sedang mengganggu masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas jalan tersebut? Apakah dengan cara ini kalian tidak sedang menghilangkan hak-hak pengguna jalan yang lain?” Mungkin itu contoh sederhana, tetapi bilakita ingat demonstrasi di Makassar beberapa bulan yang lalu, para mahasiswa dengan sikap arogansinya memboikot dan menghancurkan semua fasilitas umum hanya untuk menyampaikan aspirasi mereka, bahkan mereka melempari mobil ambulance yang sedang lewat. Apakah itu bentuk keadilan untuk masyarakat???
Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Untuk satu hal ini saya akan mencoba melihat dari sudut pandang akademik para mahasiswa. Mereka selalu berkata bahwa mereka ingin bahasa yang jujur tanpa kebohongan sama sekali. Sekarang coba tanyakan kepada para mahasiswa, “Apakah kalian jujur ketika ujian? Apakah kalian jujur ketika menyampaikan nilai IP kepada keluarga di rumah? Apakah kalian juga jujur ketika keluarga menanyakan apa kegiatan kalian di kampus?” Jika dilihat dari sisi lain, jujur saya tidak terlalu percaya bahwa mereka berjuang benar-benar murni untuk negara, karena beberapa teman aktivis saya ikut berdemonstrasi hanya untuk mendapatkan uang dan makanan bungkusan dari seorang yang berkepentingan akan adanya demo tersebut.
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk menggeneralisasikan bahwa semua mahasiswa seperti yang saya ungkapkan tadi, dan saya juga tidak bermaksud untuk membuat mahasiswa benci akan “aktivis” tapi untuk semua Mahasiswa Indonesia saya harapkan dapat lebih dewasa dan mengerti bahwa mereka adalah pioner-pioner pembaharuan yang menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Kalau mahasiswa/i Indonesia masih seperti ini, maka jangan heran jika ketika mereka menjadi “pembesar-pembesar” negeri ini mereka hanya bisa beretorika tanpa ada bukti nyata perubahan bangsa.
“Perubahan yang dilakukan mahasiswa hanyalah sebatas ide, sampai mereka benar-benar menjadi penguasa negeri ini dan mewujudkan perubahan tersebut”
Hidup Mahasiswa!!!
 reblog from : http://bem.fti.uad.ac.id/sumpah-mahasiswa-filosofi-atau-retorika-belaka/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar