Apa yang Sesungguhnya Ada
Sejak awal keberadaannya, manusia ingin memahami dunianya. Ia juga ingin memahami dirinya sendiri. Dorongan ini bersifat alamiah. Ia akan selalu ada, selama manusia masih hidup.
Memahami dunia berarti mengamati dunia apa adanya. Mengamati dunia apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahannya. Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan pernah menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, filsuf Yunani Kuno.
Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan manusia sebelumnya hanyalah namanya.
Apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada akhirnya akan berubah, dan lenyap dari muka bumi ini. Apa yang kita perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang erat-erat juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup kita akan hilang ditelan angin.
Memahami kenyataan di dalam perubahannya berarti juga memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fisika yang bekerja, ketika kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fisika yang menggerakan meteor di ruang angkasa nan jauh disana. Perbedaan hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.
Kotoran bagi satu mahluk adalah makanan bagi mahluk lain. Apa yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keterhubungan adalah bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci dan tidak suci, karena semuanya saling membutuhkan satu sama lain.
Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan adalah apa adanya, just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata “kenyataan” juga sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai “kenyataan”.
Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan.
Salah satu konsep yang paling banyak digunakan manusia adalah konsep “awal dan akhir”. Di dalam alam, tidak ada awal dan tidak ada akhir. Segalanya berubah, bergerak. Apa yang kita sebut sebagai “awal” dan “akhir” juga merupakan sebuah perubahan yang tak istimewa.
Jika tak ada awal dan akhir, maka tidak ada hidup dan mati. Hidup dan mati hanyalah sebentuk perubahan. Pikiran kitalah yang mencapnya sebagai sesuatu yang penting. Alam semesta itu sejatinya tidak pernah hidup dan tidak pernah mati. Ia juga tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Ia hanya ada, dan terus ada.
“Awal-akhir”, “hidup-mati”, itu adalah konsep-konsep di dalam pikiran kita. Kita lalu melekat pada konsep-konsep itu. Kebahagiaan kita menjadi tergantung padanya. Jika sesuatu hidup atau dimulai, kita senang. Sebaliknya, jika sesuatu berakhir atau mati, kita lalu sedih. Ini adalah ilusi dari pikiran kita.
Ketika orang mati, tubuhnya menjadi bangkai di tanah. Rumput dan tanaman tumbuh subur di tanah yang berisi bangkai. Sapi lalu memakan rumput itu, lalu manusia memotong mati untuk lauk pauk di meja makannya. Inilah lingkaran kehidupan yang tak mengenal awal dan akhir, mati dan hidup.
Dalam arti ini, dapat juga dikatakan, bahwa seluruh alam ini adalah satu kesatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan tidak hanya itu, semua adalah satu. Butiran pasir di pantai dan bintang raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari adalah satu dan sama.
Argumen ini didukung oleh penemuan terbaru di dalam fisika. Komponen terkecil alam semesta adalah satu dan sama. Antara semut dan gajah tidak ada perbedaan, ketika kita melihat komponen terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.
Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta. Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.
Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka menganggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan.
Mereka juga hidup dalam delusi. Mereka mengira, kematian adalah akhir. Lalu, mereka marah, takut serta sedih, ketika orang yang mereka sayangi meninggal. Mereka juga berusaha untuk bisa hidup sehat dan awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Usaha yang sejatinya sia-sia.
Banyak orang juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya akan berakhir.
Orang yang hidup dalam delusi berarti hidup dalam penderitaan. Mereka melekat dan memegang erat hal-hal yang sejatinya terus berubah. Mereka mengira, bahwa pikiran dan konsep-konsep mereka adalah kenyataan. Mereka juga takut pada kematian dan usia tua.
Orang yang menderita akan cenderung membuat orang lain menderita. Penderitaan kolektif akan mendorong konflik antar kelompok. Perang antar negara juga bisa terjadi, karena penderitaan batin yang amat besar dari kedua belah pihak yang berperang. Perdamaian dunia tidak akan pernah tercapai, jika orang masih terjebak di dalam delusinya masing-masing.
Bagaimana kita membangun sikap hidup yang tepat dengan berpijak sebagaimana adanya? Bagaimana kita bisa melepaskan segala harapan kosong dan pikiran-pikiran delusional yang menutupi mata kita dari dunia apa adanya? Inilah pertanyaan yang menjadi pergulatan filsafat Yunani Kuno dan filsafat Timur. Bagaimana kita bisa melepaskan konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup mengalir mengikuti perubahan semesta?
Sumber : rumahfilsafat.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat di Unika Widya Mandala Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar